Oktober 16, 2008

Melepasmu

Kemarin dulu aku marah pada dunia. Marah mengapa mawar berwarna merah, marah mengapa fajar disongsong mentari di ufuk timur namun senja di tinggalkan di batas malam? 

Aku juga memurkai si bayu yang menghembus dan menjilati pori-pori kulit dan jiwa ragaku yang sedang kosong. Murka karena tak bisa memaksa nasib berpihak padaku dan bertahan dari sakit kala takdirku tak terelakan. 

Dan malam itu aku pun terlelap dalam sedu sedan, terbangun dengan sembab yang menggantung di ujung pelupuk. 

Hari ini aku diam, bosan menunjuk sudut dunia dan menyandangkan kata salah pada wajah-wajah lain yang tak bersalah atas hari-hari lalu yang benar-benar salah. 

Tapi besok aku tak ingin bunuh diri. Walau harapku putus, walau dunia terik, kendati malam dan siang tetap mengikuti dan memboyong kenangan cita, cinta dan cerca. 

Kalau besok aku putus asa dan berani mati atas kecewa ini, MUNGKIN itu BIASA untukmu. Namun bila aku berani tuk terus hidup dan mengusung luka diri ini, serta kudapati bibirku tetap melebarkan senyum sepanjang hidup, itu LUAR BIASA untukku.

Mencintaimu

Mencintaimu adalah mensyukuri kehadiran dirimu walau aku tau abadi tak mungkin kiranya.
Mencintaimu adalah menikmati tiap detik kebersamaan kita tanpa aku ragu bahwa kau akan berlalu.
Mencintaimu adalah melepaskan dukamu berlalu dengan menjaga deretan kepercayaan yang kau titipkan padaku.
Mencintai itu adalah dua hati yang tahu untuk apa kita bersama dan saat aku harus melepasmu berlalu, aku akan tetap tersenyum untuk bahagiamu.

Juli 16, 2008

Negoisasi hati

Bagaimana bila kau jalani lebih dari separuh hidupmu dan meyakini bahwa inilah bahagiamu yang teramat nyata, titik manis yang tinggal kau jalani secara rutin disisa hidup bersama kekasih abadimu. Namun akhirnya kau tercenung disatu titik lain tuk terhenti sejenak, menangguhkan tawa bahagiamu dan menoleh sejenak ke sudut itu.

Mungkin kau akan tercenung terpaku dengan sedikit kerut dikeningmu atas hal yang terlintas dan berkelebat hebat dalam jasad. Lalu kau mulai tergelitik dan merasa sangat sangat ingin tau. Bahkan merasa sekarat karena ingin dekat. Merasa lapar akan jawaban atas penegasan rasa dan pandanganmu untuk mendatanginya.

Sesaat kau akan bertanya iya atau tidak, maju atau diam, berseru atau jujurmu tertikam. Dan bila kau perturutkan inginmu tuk berhenti disudut itu, maka kau akan mendatangi sudut hatimu dan mengacai warna hatimu yang berubah ranum dan merah jambu. Namun kau menolak dikatakan berpaling meski acap kali tak ikhlas tuk jujur bertandas. Lalu kau tempatkan sedikit pikirmu pada kekasih bertahunmu sementara kau hadapkan hatimu menggeluti manisnya haru biru disudut baru. Dan kau mulai tau dirimu berpaling. Lalu kau sering diam dalam gelap dan sunyi, hingga hanya irama degup jantungmu sendiri yang menggedor ruang telinga dengan ganasnya. Merasakan jantungmu, merasakan tiap sudutnya memompa darah ke sudut hati yang bergolak dan berfikir tentang meyakini itu lumrah meski salah, indah meski kerap bertanya berdosakah.

Biarkan saja degub jantungmu memenuhi ruang kosongmu malam ini, biarkan memompa darah ke kepalamu agar pikirmu bisa tetap di titik bahagiamu, dan biarkan jua kau memihak belahan lain hatimu untuk sudut bahagiamu yang lain dibaliknya. Dan bila baka tak kan ada kiranya haruskah degubmu bersaksi atas hati yang teriris, atau justru kau bahagia berpaling ke titik kau bermula?

Sudut kecil pagi

Pernahkah kau dapati indahnya kilau titik-titik embun diatas sarang laba-laba rapuh saat sinar hangat mentari pagi menyapa dengan semburat merahnya? Kau mencoba membawanya berlari ke tiap sudut belahan dunia, mencoba menghindari putaran gravitasi hanya karena kau tolak sinar terik memerangi indahnya. Kau penuhi lelah pada sudut-sudut jemari kakimu untuk abadinya pagi. Tegarkah kau berlari? Atau letakkan saja embunnya bersama sarang laba-laba disudut sana agar kau bisa terus kembali untuk memuji pendar kilaunya. Jangan lupa, tiriskan tanda tanyamu bila ia tak abadi disudutnya.

Juli 13, 2008

Mendustai hati

Mendustai hati itu seperti saat kau lepas kapal berlayar dan kau berharap ombak menerpanya ke pantai. Seperti saat melepasnya agar berlalu dari hidupmu dan kau sesaki dadamu dengan tangis dan sedu sedan.

Juni 23, 2008

Seperti apa menjunjung nikmat?

Seperti beriring niat dan berulir senyum di awal hari, lalu berkalang syukur di penghujung malam.

Batu biru bertandang ke singgasana bulan tua;

Batu biru bertandang ke singgasana bulan tua dan berkata: “Purnamalah selalu wahai bunda malam! Jangan pernah berlutut tunduk pada si awan hitam atau hujan. Acap kali terinjak diriku yang ayu ini dibawah sana tanpa sinar rupawanmu. Berkenankah mengabulkan satu pinta dari safir indah seperti diriku ini atas jerih payah perjalanan panjangku padamu?”
Bulan tua mengangkat wajah, memandang iba lalu tersembul senyum tipis diatas raut tuanya; “Bila kau telah sanggup habiskan waktu bertahunmu dipenuhi lelah, merayapi langit hanya tuk menjamah singgsanaku dan hanya tuk meludah perihal keluh kesah, mengapa tak mampu dirimu beringsut barang selangkah dalam sekejap agar dirimu tidak terus terinjak dibawah sana?”

Maret 16, 2008

Kuning Ayu

Mata "kuning ayu" berpendar-pendar, namun ceruk duka sisa kecewa masa lalunya masih berkubang nanah. Ada dilema karena harga dirinya kini tengah tertawar harga mati oleh pejantan-pejantan kehausan. Seketika ia merasa permukaan hatinya tercium begitu busuk. Menusuk! Ia biarkan sisa deretan dusta dan munafiknya terkokot rapi di rahim kalbu.

Malam ini pipi "kuning ayu" sudah berwarna macam badut. Merah merona warna warni. Badannya beraroma wangi setan pelantun lafal madu racun. Jarinya gemulai menjadi galah-galah lentik pencabut nominal. 

"Kuning ayu" berdansa menggila, gaun "kuning ayu" terus berkibar-kibar. Diiringi sorak sorai para mulut adam bermulut mesum penuh najis. Mereka berbaur dengan desah dan pujian lantang. "Kuning ayu" terus berpendar-pendar bak bola lampu dilantai dansa. Ia lupa pada putih dan hitamnya langit dunia.

Sementara jendela-jendela tua dikampung sana tengah tertunduk bisu menyertai balita-balita kuning muda disisinya. Punggung tangan mereka terus sibuk menyapu leleran airmata kerinduan mereka. Berharap kelak biang "kuning ayu"nya lekas kembali pada aur-aur tua peneduh lantai tanah di istana rumah bambunya dan merengkuh kembali cadar putihnya untuk mengaji disura.

Februari 15, 2008

Aku juga si serigala


"Hey, serigala!”, aku berteriak sambil berlari mendekati makan malamku. Si serigala terdiam dan memandangi aku. Liurnya telah menetes, matanya melirik makanan di meja. Hidungnya bergerak-gerak membaui aroma makanan hangat. 

“Jangan pernah berpikir untuk mencobanya”, teriakku lagi. “Tak kan ada makan malam untukmu.”

Si serigala menggibaskan ekornya. Mungkin mencoba ingin terlihat lebih bersahabat. 

“Tidak!”, kataku lagi menanggapi pandangan yang mulai berseri menunggu untuk disodori hidangan. Mata besarnya berbinar. Lidahnya menjulur. Lebar. Panjang dan juga basah. Sia-sia kuhalau ia menjauh, serigala terus menempelku. Arrrgh, membuatku jengah. 

“Bosankah mengendap diluar sana? Kemanakah tumpukan daging yang biasa kau dapatkan?” 

Serigala terdiam. Dia menggelosorkan diri keatas karpet. Pilu. Mungkin itu yang ia rasakan karena aku tak kunjung mengisi perut keroncongannya. Biar. Aku sedang kesal. Kemarin makan malam buatanku teronggok begitu saja tanpa disentuhnya. Demikian juga malam-malam sebelumnya. Selalu ditinggalkan. Menjadi dingin. Beku dimakan seringai dingin dan sunyinya malam. Mata besarnya menatapku. Penuh kecewa. Aku terenyuh juga. Ah, ingin aku merengkuhnya. Membelainya. Mendekapnya. Menyibak tiap helaian bulu di tubuhnya. Tapi bayang langkahmu kemarin telah membinasakan belas kasih yang kini mulai tumbuh diotakku. Aku tertunduk berusaha menindas rasa belas kasih yang memberontak untuk di tumpahkan. Serigala mendengus dan bangkit. Perkiraanku bahwa ia akan berlalu dan berlari dari hadapku ternyata harus dipatahkan. Ia justru mendekat. Menggesekan bulu-bulunya ke kulit coklatku. Matanya berlinang. Sungguh, ia menangis. Mulutnya bersuara. Halus namun lebih mirip seperti keluhan. Mataku ikut basah dengan airmata. Belas kasih telah berhasil merangkak masuk dalam relung hati. Menguasai hati dan menancapkan bendera kemenangan untuk sesaat. 

Pandanganku dikaburkan airmata yang ikut membuncah. Samar-samar kulihat bayangnya tak lagi sama. Tak lagi kulihat ekor dan bulu serigalanya. Bahkan ia tak lagi merangkak seperti serigala. Dia mengerang seperti manusia. Ya, manusia. Mahluk yang katanya mulia. Aku terisak. Aku lupa. Aku lupa bahwa ia pernah terlahir sebagai manusia. Bertingkah seperti manusia. Memperlakukan aku bagai manusia. Menikah dengan cara manusia. Menyetubuhi aku dengan cara manusia. Dia manusia. Tapi mengapa sering terlihat seperti serigala? Ataukah dia manusia setengah serigala? Atau serigala setengah manusia? Manusia jadi-jadiankah? Serigala jadi-jadiankah? Kamu siapa, serigala? Siapa? Siapa? Aku bingung. Aku berlari mendekati cermin. Tubuh berisiku mengisi bayang cermin. Ada kulit coklatku, rambut hitamku juga jerawat besar sialanku terpampang disana. Aku berdiri tegak. Dengan dua kaki. Itu berarti aku manusia. Aku bisa bersenandung, berbicara dan menatap bayangku seperti manusia. Aku berputar memeriksa seluruh tubuhku. Ya, Tuhan! Aku terhuyung. Terbelalak pada bagian belakang tubuhku. Aku punya ekor. Seperti serigala. Atau memang aku juga seekor serigala? Aku kesal. Marah. Tak percaya bahwa aku juga mirip serigala. 

Aku mencoba mengingat kapan terakhir aku memeriksa tubuhku sebelum ekor itu bergelayut disana. Mungkin setahun. Atau dua tahun yang lalu? Atau kapan? Kapan terakhir kupandangi diriku di cermin besar itu? Itu sudah lama. Lama sekali. Hampir tak bisa kuingat. Aku tidak lagi pernah sempat berdiri disitu. Aku selalu berlari keluar rumah bila angin menderu dengan derasnya diluar sana. Menghambur ke pintu dan menyatu dengan angin tanpa sempat kulewati kaca walau hanya untuk memeriksa pipi dengan jerawat sialanku. Aku biarkan diri terhempas angin, kemudian pulang dengan kesegaran baru setelah dibuai dalam sapuannya. Ya, tiba-tiba saja aku ingat. Ketika itu belum ada serigala dirumahku. Dulu ada manusia tinggal bersamaku. Benar-benar manusia. Berdiri tegak dengan dua kaki. Mengenakan kemeja setiap kali keluar dari rumah. Kemeja yang aku setrika sendiri dengan tanganku. Dia nafkahi aku dengan uangnya. Uang bergambar manusia. Uang yang akhirnya bisa untuk membeli makanan manusia. Makanan kami. Tapi kemudian ia selalu terdiam didepan mejanya tiap kali selesai makan. Masakanku tak lagi terlihat mengenyangkan baginya. Terlalu asin. Terlalu manis. Terlalu hambar. Terlalu asam. Selalu protes dengan rasa yang berbaur diantara bumbu. Terakhir dia bilang bahwa aroma makanan dari ujung jalan lebih menggoda. Membuatnya selalu terduduk disisi jendela depan rumah. Menikmati semua suguhan makananku sambil membaui masakan dari ujung jalan. Tak apalah bagiku! Asalkan ia tetap menyantap makan malam buatanku. 

Sejak itu meja makan hampir tak pernah berpenghuni. Ia selalu mengendap membaui aroma masakan dari ujung jalan. Merayap mendekati dan menempelkan hidungnya di dinding dapur tampat masakan itu dibuat. Sesekali dia harus pulang dengan keadaaan basah kuyup. Disiram oleh si empunya dapur. Dengan keadaan itu, dia pasti akan makan di mejaku. Menyantap makan malamnya meskipun terlihat seperti asal telan. Bahkan pura-pura sibuk makan, menghindari pertanyaan-pertanyaanku yang kadang tak bisa ia jawab. Aku sering murka. Sering mencacinya sejak itu. Aku bosan. Lelah dengan kemurkaanku. Aku lebih suka berayun dengan angin diluar sana daripada bertengkar dengan cara makannya. Aku berayun dan terus berayun. Sampai kudapati bahwa aku terhempas terlalu jauh dari rumah. Terlalu sibuk dengan angin dan akhirnya lelah. Kemudian aku lapar. Haus, aku butuh makan dan juga minum tentunya. Angin menghantarkanku kesebuah dapur. Semuanya menggoda. Menggiurkan. Membuat liurku menetes. Aku menyantap semuanya. Aku lupa menanyakan apakah makanan itu telah matang. Apakah aku berhak mencicipinya. Mengunyahnya. Menjilatnya. Memasukkan ke kerongkonganku. Aku terlalu lapar. Aku makan semua sampai kenyang dan tertidur. Aku terus kembali kesana. Menghabiskan apa yang ada didapur itu. Berhari-hari. Berbulan-bulan. Entah berapa lama. Aku lupa keberadaan manusia yang biasa makan di meja makanku. Tiba-tiba aku merindukan meja makanku sendiri. Rindu manusia yang selalu bersitegang soal bumbu. Aku ingin pulang. Dan aku pulang. Pulang untuk melihat dia. Berdamai dengannya. Lama aku menunggunya sampai kudapati dia datang dengan cara yang berbeda. Merangkak melalui pintu kecil, menjulurkan lidahnya dan menyalak padaku dengan keras. Manusia yang kutunggu telah menjadi serigala. Kemudian sejak itu aku cuma melihat serigala. Tingkah serigala, obrolan serigala, bahkan rumahku sudah seperti rumah serigala. Berantakan dengan segala hal berbau serigala. Aku mulai malas memasak makan malam. Toh, yang akan ia santap telah menunggu dibalik dapur yang mengepul di ujung jalan. Serigala bisa bebas masuk kesana sejak berdamai dengan si empunya dapur. Dia menyantap semua yang ada disana. Dia lupa menanyakan apakah makanan itu telah matang. Apakah dia berhak untuk mencicipinya. Mengunyahnya. Menjilatnya. Memasukan ke kerongkongannya. Dia terlalu lapar. Dia makan seperti ketika aku bersama angin. Aku terus berdiam. Marah dengan kebingungan yang ada. Kenapa ia jadi serigala? Ataukah dia manusia setengah serigala? Atau serigala setengah manusia? Serigala jadi-jadiankah? Manusia jadi-jadiankah? Kamu siapa, serigala? Siapa? Siapa? Tak bisakah dia kembali jadi manusia lagi? Aku bingung. Aku menatap serigala. Bergantian anatara bayang serigala di cermin dan serigala dihadapanku. Kita berdua seperti serigala. Bertingkah seperti manusia dan serigala. Dari manusia ke serigala, dari serigala ke serigala, dari serigala ke manusia, dari manusia ke manusia kembali, dari manusia serigala ke manusia, dari… Ah! Aku lelah, serigala! Aku ingin kembali. Akhirnya kusodorkan juga makan malam pada serigala. Kubelai bulu halusnya. Kudekap dirinya dan berbisik lirih pada serigala, “Mari jadi manusia pada malam ini. Kita akan tidur ditempat tidur manusia, bercinta seperti manusia lalu bangun dan menjalankan hidup seperti manusia besok. I love you, serigala!”

Februari 02, 2008

Inginku



Kanda, aku ingin jadi semut. Aku akan mengarak deretan sisa bangkai cacing jantan tak bersahaja. Menguliti lapisan ari anyirnya, melemparnya ke kubur gulita.  

Kanda, aku juga ingin bersayap, aku akan mengekor rama-rama betina lainya. Aku ingin ikut mencumbui mahkota mekarnya yang acap kau tepikan, kanda. Setelah itu aku ingin menari indah dengan sayap-sayapku dan menancapkan belati kejantungmu karena aku ingin kau mati saja. Aku muak menyaksikan ujung hayalmu pada rumpun rosa-rosa indah milik tetangga. 

Ah, Ulat! Aku teringat ulat, kanda. Tolong jadikan saja aku ulat! Lidahku sedang kelu, aku ingin belajar merindui pucuk muda dan madu meleleh dari bibir pengelana samudera cinta. Aku ingin mengecapi nafsu, menjejali lilin hangat bagi dahaga cintaku. Dan aku akan tidur lelap disisimu setelahnya. 

Atau... saat aku terjaga nanti, jadikan saja aku lalat! Atau serangga lain serupa anai-anai. Ingin kubuat dirimu membusuk wahai jantan jahanam. Dan kukerdilkan tinggi hatimu. Ingin kulipat kelopak dari mata yang selalu menatapku dengan tenang namun membuatku tersudut tanpa pilihan. Ingin kuhentikan penat yang beriak-riak atas pongahmu. 

Oh, maka jadikanlah aku diriku seperti yang aku mau. Jadikan aku bidadari biru serupa anai-anai, ulat, semut, atau rama-rama.

Bersalin

Hari ini bidadari berulang tahun dirumah sakit untuk bersalin nasib
 Semalam ada bayi mungil lahir, dinamai HARAPAN
Mungil, bersih dan merona. 
"Cium hangatku tuk HARAPAN", kataku tersenyum
 Bidadari pun bersenandung. 
Genta-genta bergemerincing dalam temaram hangat hati, mengisi kisi-kisi kekosongan diri
Na na na
Bidadari berima
La la la
Ia bersenandung mendayu
Du du du
Ia bernyanyi dengan syahdu. 
Peri-peri bergincu merah mengiring sayap bidadari
"Tidurlah intan, lelap lah HARAPAN"
Bunda menciumi dalam buaian
"Selamat datang, HARAPAN"

Menceramahi kata

Berapa harga tuk tutupi hitam agar tersamar putih? 
TIGA BERKALI DASA DIPANGKATKAN ANGKA TAK TERHINGGA
Mahal?? 
SANGAT!
Dimana bisa kudapatkan? 
DIATAS SANA, DIBAWAH TUMPUKAN KERUT LEMAK BUMI ATAU TERSELIP DIANTARA AWANG SERULING BAYU
Jauhkah?
AKU TAK MENAHU
Lalu siapa yang akan terus menginginkan harganya diujung kala?
DIA, PERAWAN TUA ITU, PENARI YANG MERAUNG, PIRANHA LAPAR, ULAR BELUDAK, DINDING-DINDING RETAK, PUSARAN AIR, JUGA PENJINAH-PENJINAH YANG TERLAHIR
Begitu banyak?
TIDAK KAH KAU TERMASUK DIANTARA MEREKA?
 Aku diam. 

Cerita rembulan


Masih ingat kisah si rembulan, kekasih? Yang kemarin naik diatas kereta lembayung senja, turun di batas langit gelap, merayapi lorong langit malam hingga ke barat, dikerlingi bintang-bintang sebagai dayang malam. Biar kukabari cerita hari ini, kekasih. Malam ini rembulan mati. Ditembak burung hantu menjelang pagi. Kesal karena tikus-tikus mungil memujanya namun dituturkan sebagai buruk tak tentu rupa.

Mengkisah Gisha


"Gis, ayo kembali kemari. Menertawai desiran bayu yang menusuki tulangmu. Berkalang dengan tanah surga dewata. Lihat bukit itu! Bantalan lahannya mencanduimu. Menunggu kau merangkak disana dan bergumul dengan debu dakiannya. Gis, setelah itu pergilah ke sungai! Para perawan tanggung sedang berdesakan di tepi sungai. Sedang mengail keluh kesah harap cemas, berkacak di pinggang mungil, dan jari-jarinya terus berselingkuh dengan belahan dada. Mulut mungilnya sedang mengikik pada matahari. Lompatnya ke kanan namun hayalnya kekiri. Mengerutkan kulit jidat tua para tetua. Gis, setelah itu mari kembali kemari! Sembunyi dibilik kasmaran. Hati-hati ditikam mentari sore yang kemarin dulu kau gauli senjanya".

Berkawan setan


Kau tak bahagia walau aku mengiringimu tukmelaknati tangan setan, kawan. Haram katamu, namun kau enggan tuk beringsut pula. Otakmu yang sunyi mulai sekarat ditombaki titik koma. Cagak api-api gelora menjilati hitammu yang mulai padam. 

Sahabat, penggal lengahmu! Atau desah setan akan menyusupi selimut tidurmu, akan melucuti pakaian dalam di otakmu, akan mengupasi dirimu hingga lupa bahwa surga-Nya belum akan tiba. Bakul rintihanmu pasti akan kandas diseret hela kuda-kuda nirwana dunia, juga ringkik iblis, dan jentik jemari halus ular belang. 

Bangun! Bangun dari buaian busur lembayung senja neraka! Kenapa kau tak jua beringsut? Lalu kupandang mayang pekatmu yang menjuntai terurai. Aku terperangah.Ternyata kamu juga setan. Rambutmu juga terbakar merah. 

Kamu setan merah! Jijik aku melihat tetes liurmu. Dendang dendamku menyusupi aorta jantung hati. Tajam mata pisau lelah mengukir kosong jiwaku. Guratnya tak segan menolak sangkalmu. Kamu memang busuk! Pergi saja kamu setan! Aku tak ingin menusukmu dan turut jadi bagian dirimu.

Buat si jalang yang loba


"Loba hatimu, jalang pula dadamu. Pikiran murnimu telah meranggas, hatimu bersisik sakit. Semoga kau mati dirundung gundahmu, bertudung hujan serapah hawa-hawa kekecewaan atas jalangmu. Lalu kau akan terkikis, lalu kau takkan lagi mampu bertandas. Meski nafas katamu mulai terpenggal serta terus bersendawa pengingkaran diri, dirimu takkan luput dihantam saksi jiwa kosong nan bisu. Kau akan mati miris, teriris. Gerigi kemenanganmu akan tersumbat pasir dinadi, anganmu akan koyak digerus arus. Jadi aus, jadi kebas, keras hati serta membeku biru. Pulanglah, kutunjuk satu makam disana. Kuburkan LOBAmu disana. Selamat jalan, LOBA!"

Februari 01, 2008

Berang




Cahaya temaram jadi milik jangkrik yang menjerit-jerit. Berdesak sorainya membakar hati. Tak urung turunlah murka lelaki muda. Mengaduhkan bibir lebam, berkeluh soal mata biru.


"Sial! Sial", katanya.

Gelap telah menjerembabkannya dalam bau kotor got sial setelah berlari-lari menyelamatkan nyawa. Kepalanya sakit luar biasa. Kaki tangannya membengkak dimana-mana. Hati mengiba-iba untuk berbalik pulang ke gubuk sunyinya. Tersisa pendar yang menawarkan pandu. Langkah kaki menghantar pada bundanya yang tengah berbenah untuk mengadu nasib di pekan dini hari. Ia menyergah, menghentak keras pada deretan gelap yang siap menghantar langkah kaki tua sang bunda. Gelap pun tunduk saat lelaki muda berlutut. Air mata mulai terurai.

"Sedih! Pedih, bunda."

Tangan-tangan kotornya terjulur. Kosong, berdarah, bau. Bergetar menyesali gagal. Tak akan ada semangkuk sayur lezat yang akan berdesakan dengan piring-piring lauk diatas meja siang nanti, tak juga sanggup membeli segelas susu yang kabarnya sarat gizi, tak sanggup pula mentitah mantri pintar mengusung obat-obat mahal untuk pensiunkan batuk bunda.

Ia tertunduk, menciumi kulit-kulit keriput sang bunda, memohonkan satu bulat penuh kata ma’af. Melengkapi ma’afnya kemarin, kemarin dulu, minggu lalu, tahun lalu, hari lalu yang berlalu.

"Lelah! Lelah, bunda! Ingin meniduri pangkuan bunda setelah memenuhi tubuh laparku dengan bogem-bogem mentah hasil berangan untuk bahagiaku setiap hari. Tidur! Iringi aku tidur bunda. Tidur tuk melepaskan lapar kita siang ini, bunda."


*Pencuri yang angannya tercuri, Februari 2008*

Harga diri


Aku bertegur dengan mereka.

"Seperti ini atau itukah dirimu?", tanya mereka.

Aku tersenyum. "Seperti senyum pongahmu bangkit terbang, saat pikirmu dilayang pada gunung rimba kehujanan, kabut-kabut bermake-up fatamorgana, irisan-irisan nurani tak berbentuk. Segitiga, berbunga, bulat, mengecil, kotak, berima. Bagaimana kau akan memandangku diantara sekian banyak pilihan itu?"

Januari 03, 2008

"Bidadari koma"

Mayat-mayat itu dinamai moral dan adab. Mereka telah tiada, telah dikremasi dan dilarung abunya. Cuma tertinggal sesosok raga kosong yang mengungsi ke ruang jiwa yang kotor dan pengap. Ada sedikit permata nurani berkilau serta setumpuk maksiat yang merimbun disana. Tubuhnya bergoyang cepat meluruhkan peluh korosi hati. Terbata-bata mulut mungilnya berceloteh soal Tuhan dan setan. Melenguh panjang untuk sesaat lalu berlari pada pecahan lembaran penukar surga hidupnya. Surga diantara bulu-bulu cerpelai, sepatu kaca, mutiara-mutiara menjuntai. Jangan lupa, belikan benang emas untuk sayap terkilirnya. Untuk bidadari dungu, juga tuli, juga buta. Untuk dirinya yang yatim moral dan piatu adab.

"Putih-putih melati"


Melati kecil berlari tergesa, mengukur pematang sisa sawah mengering. Melati kecil bercakap dengan angin, lalu mencerca semilir kuat yang mengarus deraskan layang-layang rapuhnya. Ia meraung meratapi remah sisa rapuhnya. Cuma bahagia itu yang tersisa, hanya kepingan itu sisa mimpinya, agar ia tak perlu pulang, agar ia tak meniti umurnya dikamar mungil bersama perempuan sundal bernama bunda.

Dilema, Tuhan!

"Tuhan, apakah Engkau bisa membiarkan aku bertanya tentang waktu? Kapan tumpukan nelangsa bersampul suka ini berhenti bergulung, Tuhan? Genderang besar kemuakan telah bertalu menggedor otak buntuku dan bergulung dalam lambung hati menunggu tuk memuntahi bumi-MU, Tuhan. Kaca-kaca bening telah memudar, enggan menonton dan memantulkan wajah membeku sisa bercinta pagi lalu. Gada-gada dilema yang tertambat telah bergetar menunggu terlempar ke permukaan udara langit dusta. Oh Tuhan, aku cinta dan benci kekasih tegap. Oh Tuhan, aku merindui juga belaian yang menguap. Oh Tuhan, aku juga mengekor cinta pendusta lembut ini, terpenjara dengan pendosa lembut pengorek luka indah yang tertanam bertubi".

Anggrek liar


Anggrek liar tertunduk sendu.
 Terbayang kampung halaman berkeliling padi menguning
Terbayang abah tercenung di beranda, mengetuk-ketuk jemari tua menanti kepulangannya
 Terbayang emak mengepul kayu kering tuk bara penanak sayur lezat
 Terbayang dua manusia yatim mungil bersiap di batas desa, berharap-harap cemas pada buah tangan kotak-kotak berpita
Anggrek liar tertunduk sendu.
Tak tegar nantinya menatap pasangan mata kecewa dan sedu sedan atas lembaran harta yang tersita paksa siang ini, setelah berbulan merengkuhi tubuh-tubuh penuh birahi dibale-bale sepi.

Dini


Embun yang menggantung di dedaunan
Mentari yang semburat dibalik awan
Burung-burung pagi yang mengalunkan nyanyian
Membuka hari untukku berjalan
Namun dinginnya udara, mimpi yang masih menggoda
Masih membuatku enggan dan segan untuk segera beranjak dari peraduan
Ini belum saatku untuk menerima
Ini belum saatku tuk berada disana
Sang pecinta, kau masih terlalu pagi tuk menyapa
Saat ini belum ingin kubuka mata
Atau beranjak dari masa yang ada

Jatuh cinta itu apa?

Jatuh cinta itu apa? Ia membuatmu bertanya-tanya, untuk sesaat kau diam mencoba menyakininya. Saat kau dapat jawabmu ia akan membuatmu termangu dalam sendu dan mengurungmu dalam rindu serta haru biru ruang hati.

Januari 01, 2008

Bukit berkabut


Langit memerah laksana bara yang hampir tertumpah. Awan putih segan untuk tetap suci, Cemara-cemara tua berayun dalam irama yang tak tentu, Pucuk-pucuk rapuhnya menuding menunjuk bukit. Menuding puncaknya yang menjinahi keagungan. Bergulung kilau senja menjauh, ia  malu… sangat malu. Biasnya menggugurkan niat gerbang malam terkuak. 

Anjing-anjing berliur itu, aku benci anjing-anjing berliur itu. Aku benci mata besar dan salak nistanya. Tapak kaki tak beralas mengotori hutan perawan, Dan dua kepalanya, berisi hasrat memakan segala. Ekor menggibas, memuja bukit subur, yang kemarin menyembunyikan bayang buruk dan kumalnya serta bau borok dibalik bulu gimbal. Duhai bukit agung berbalut lembayung, Dapatkah sesekali kau limpahkan setiamu pada kekasih? Pada si langit, si awan, dan si cemara yang menjadi teman tidur malammu?

Sahabat yang berpulang siang tadi


Sepi, sunyi. 
Cuma tertinggal beberapa kepala, tertunduk bisu tanpa makna
Diam. Sepi. Sunyi

Aku pandangi mereka, 
"Ananda, apa yang terlintas dibenakmu? 
Mega, adakah kata yang tertahan di bibirmu? 
Tak bisakah kalian berkata sesuatu? 
Umpatkan satu kata padaku, Kenzu! 
Apakah suaramu turut hilang, Bayu? "

Sepi, sunyi. 
Cuma isak pelan terdengar satu dua, tersembul lara dalam hati mereka
 Sedih, terkukung duka.

Aku berteriak, memekik dahsyat,
 "Hentikan saja tangis kalian! Hentikan sedu sedan tiada guna! Untuk apa? Tak kemana diri ini terbawa. Sahabat, aku cuma lelah, kemudian pasrah, lalu aku kalah. Aku berserah dengan jiwa terengah. Aku terdiam, maka hendaklah kalian juga diam"

Satu persatu langkah menjauh

Mereka meninggalkan tumpukan keping melati, meninggalkan kecewa atas diri ini, meninggalkan semua alasan mengapa langkahku terhenti

Beberapa kepala menyematkan pesan untuk si bodoh ini, “Kenapa kau mati hanya karena tertindas senyum kekasih sang suami?” 

Tertinggal sepi mengurungku. Tersisa dingin merongrongku. Terabaikan dibawah nisan baruku. Tinggal sepi, sunyi.

Pagi menggulir


Pagi sekonyong-konyong menghadang cerita mimpi tidurku. Menyorongkan alur senandung yang bergema merdu di antara mangkuk-mangkuk dalam dapur biruku. Kopi hangat miskin gula, berkepul-kepul dicangkir berbunga jingga. Tersaji jugalah sepiring nasi hangat, tak lupa berjajar garnis-garnis menyala memikat. Senyumku tak henti mengembang, meski bibir tipis bukanlah tanding yang seimbang. Menciumi tubuh wangiku sisa mandi di pagi buta, sisa basuhan aroma rempah nirwana. Aku mendesah serta merta, tak tahu kan kemana kuhibahkan semua bila hanya bangku kosong yang menyapa di ruang hampa. Oh, aku lupa… Tak kudapati tubuh semampaimu merengkuh tuk bermasyuk mesra malam lalu. Aku juga lupa bahwa telah ada putus dari bibirmu tuk melangkah berlalu. 

“Kamu pengecut!”, teriakku penuh deru, “Tak lekangkah janji setiamu dihadapan Tuhanmu?” 

Semampaimu telah jauh berlalu sejak waktu lalu. Berlalu setelah kau jatuhi dirimu dengan penghakiman kau gagal bertahan, setelah dihantui detik usia yang melangkah. Sementara tak juga kau dapati bibir-bibir mungil menyerukan dirimu AYAH. 

--Tengah malam, akhir desember 2007--

Jelita tua yang tertidur bertalam pasir


Dera tali kekang menghela, tak kunjung buat jelita tua berkeluh asa. Pun sudah ia sadari kini sudah waktunya untuk berhenti, mendinginkan peluh dalam gelap sisa hari. 

 Jelita tua yang eloknya tertinggal, sisa petualang cinta yang hatinya terpenggal. Kakinya terus berlari menapak diantara kerikil pasir. Tak ada iba hati tuan tanah yang mengekor dibelakang kusir. Nyinyir, mencibir, buat jelita tua tak habis berfikir. 

 Lunglai langkah hantar satu tanya getir tuk tuan tanah berbalut sutra ungu, “Adakah sedikit hati mengajakku menepi sebelum lanjut langkah berlalu?” 

Tak ada satupun desah dari bibir bisu berbalut jelaga tembakau. 

Jelita tua mulai mengubur tutur mendayu. “Aku berserah walau malam ini musti mati dalam lelah. Tak perlu nisan batu tuk kuburku atas tubuh yang tak lagi ayu. Bawa saja serta pemilik tangan mungil dan rambut ekor kuda yang tertitip di rahimku lima tahun lalu.” 

Mata besar jelita tua melayu, langkah kakinya membeku tertelan desiran bayu.

Untuk siapa aku berkeluh?


Aku berteriak untuk terik menyala
Memancar dan menyilaukan
Mengugurkan daun kering pohon tuaku
Terhempas ketanah basah sisa hujan semalam
Jatuh, bersetubuh dengan bumi
Terbakar habis disambar terik

Aku juga mendebat sang angin
Yang mengayun dan menghempaskanku
Yang menyeret sayap robek penuh luka
Yang menelanjangi tubuh setengah jiwa ini

Pusaran badai pun mendera tegarku hingga luruh segala dan tersisa satu dua nafas tersengal
Hampir mati tanpa sayap mengepak

Aku lalu berseteru pada kabut
Yang menggantung dan menggulung jalan
Yang membendung fatamorgana pagi tuk mata kecilku
Kuludahi, kubunuh kekuasaan kabut kusutmu
Tertinggal umpat bibir mungilmu
Dan kau memudar, menjauh dan mendendam

Aku lalu mengamuk pada si rambut merah
Yang menyusup dalam hati merah jambu kekasihku
Yang memenggal mimpi bertahunku
Aku terbakar walau aku terdiam dalam dingin ruang hati
Kusudahi dan akhirnya kutumpahkan darah untuk sesuatu yang kau panggil cinta
Kupasung asa dan terkurung tuk satu masa
Diam, sunyi, cuma aku dan sangkar besi

Untuk seseorang yang hari ini kupanggil SAYANG


Sayang, saat kita lihat semua
Memandang luas bidang yang ada
Sepetak ladang penuh cinta
Menanti kita tanam bersama
Kekerasan hati kita cangkuli
Kegersangan jiwa segera diairi
Benih kasih tertebar disetiap tepi 
Pupuk kasih dan sayang turut melengkapi
Namun, malang mendera
Hasil beruah tak didapati, benih kasih kita banyak mati
Kemarau datang menaungi, matahari garang menyinari 
Mungkin ladang terlalu luas
Lelah menggantung tak pernah lepas
Kerja kita perlu sedikit batas, walau hanya tuk sedikit hela nafas
Sayang, ternyata yang kita perlu cuma satu pot hati
Tak perlu  ladang luas tuk ditanami
Karena satu pot hati dengan cinta yang murni, mungkin bisa terus tumbuh abadi.

Aku, ombak, beratus hari


Kukuhku berdiri disini untuk menunggumu, ombak. 
Menjilat ujung kaki coklatku
Membaurnya bersama deraian pasir
Basah, berbuih dan mengering
Ombak beringsut pergi, jauh ketengah

Ini dia datang lagi
Menggulung tinggi, gemuruh riuh
Menyeret semua ketepi
Meninggalkan semua disana
Teronggok ditepian
Basah, berbuih dan mengering 

“Sudah beratus hari, ombak”, 
Aku berbisik untuk mengusik. 
Ombak acuh tak acuh terus bergulung
Tak peduli bisikku meninggi

“Aku tegar, ombak”, teriakku lagi. 
Ombak berdesir pelan
Berlari-lari dari tengah
Menyambangiku dengan cepat
Menjilat ujung kaki coklatku
Membaurnya bersama deraian pasir

“Tegarmu menguap diantara keluhmu”, 
Jawaban ombak menghujamku.
Dalam, dalam sekali
Kemudian pergi
Bergulung kembali ketengah samudera hati
Kukuhku berdiri disini
Menunggu ombak menepi
Lagi dan lagi

"Bilakah kamu bawa serta kekasih yang terlarung beratus hari?",
Aku bertanya
Lagi dan lagi

When you take my pride away


Ada tangis suatu malam saat mulut terbuka.

“Dik, aku mendua”, sayangku berkata. 

Aku tertawa balas menggoda, “Dengan ibu tercinta tak apalah adanya.” 

Sunggingan senyum tak merekah di bibirnya.
Jelas tak bermaksud melempar kelakar tuk canda tawa.

“Untuk apa abang mendua?”, tanyaku. 

Sorotan matanya tak lagi bijaksana. 

Satu bisikan datang menyapa, “Gadis tetangga tengah berbadan dua”. 

Tak sempat kutarik nafas menghela
Kalimat terlanjut tak lagi tercerna
Cuma sesak berlanjut gelap mata

Detik ini aku terdiam membisu
Meski sibuk berputar dalam pikiranku

Diluar sana musik mengalun merdu
Diiringi senyum bahagia si calon madu
Bergetarku dengan tangis tersedu
Kata setuju jadi penyesalanku

Semalam ada niat batal berlaku
Tak sempat terhujam satu mata tajam kedadamu
Seharusnya abangku tak ada disitu

Semalam sempat terpikir olehku
Tempat termanis untuk abang sayangku
Dihalaman belakang rumah mungilku
Dibawah tanah merah dengan satu nisan batu.

Mencari makna diri kekasih yang berfikir


Untuk apa senyum itu harus ada, sayang? Aku tahu, kamu pasti bahagia. Ada kenang yang bangkit meraja dikepalamu. Dia yang telah berlalu dan gerai rambutnya, gemulai berayun berderai tawa, dan wangi tubuhnya memperkosa akal dikepalamu. 

Sadarmu berlalu begitu saja. Terhempas ke angin senja. Tertiup bayu dari surganya. Lalu buat apa lamunan hadir? Aku tahu, otakmu sibuk berfikir. Bosankah kau lihat bibirku mencibir? Penatkah mencumbu gula-gula getir? Aku tahu, otakmu sibuk berfikir. 

Gamelan tarinya diotakmu terus membahana. Lalu untuk apa tangismu tetap ada? Ataukah jujurmu padaku sedang bertahta? Ataukah dirimu sulit bergemulai dengan masa yang ada.

Bila duka terus melanda, bila suka berbatas pecahan asa, bila nurani terus bergema dalam dusta, tangismu untuk apa? Cari, cari sendiri maknamu. Pikiranku sudah mati malam lalu. Mati dimakan lelahku. Mati dimakan cemburu. Teronggok kaku dalam ruang bisu.

Gema langit hati


Gua cintaku bergema
Mengundang petualang menginjak disana
"Mari, kita bercinta disudut ini",
ajakku senang

Namun runtuhan batu dalam gua hati, buat ekspedisi singkatmu tanpa arti
Peta hati yang telah kuberi
Tiada lagi ditanganmu kini
Cuma sesat dan ragu hadir didiri
Urungkan segala langkah untuk di titi.

Bait hatiku hari ini


Dengan lafal huruf terurut
Satu ungkapan buat diri terhanyut
Simpang hati buka jalan rasa tersulut
Hangat jiwa bakar hati yang terpaut
Kemarin telah lewat satu waktu
Satu hari lagi berlalu bersamamu
Bait hatiku hari ini cuma buat kamu
Agarku terus bisa hadirkan senyum bibirku.

Sapu tua di penghujung malam


Aku cuma sebuah sapu tua yang diletakkan disudut perapian duka
Batangku rapuh tiada lagi guna
Teronggok begitu saja tanpa harap tersisa
Tangis meringis jiwa yang terabaikan
Apakah jasa masih teringatkan? 
Bertahun kusapu pelataran
Akankah kini aku tersingkirkan? 
Menunggu waktu datang menjawab
Kekuatan hati akankah tersingkap? 
Berharap nasib baik datang mengendap
Beri rasa tuk sedikit harap.

Asa yang terperkosa


Ada rintihan berkejar terengah
Kemudian bibirnya bergetar penuh keluh kesah dan desah
Matanya basah, hatinya gundah
Terseret kesudut kamar hati nan suram
Pandang rambut dan jiwa yang sama kusut
Pandang juga baju dan hati yang sama robek
Sementara tangan berkuku runcing mengais sisa harapan dari ubin dingin tak bertuan
Kelangit-langit lapuk kelabu dan busuk
Wajah kurusnya menengadah dengan mata terpejam khusyuk
Harapannya hanya agar angin kejujuran dapat membawanya serta
Ketempat terindah dimana seharusnya ia bernaung, di bawah mega bahagia tanpa hujan tanda tanya.

Kenapa hari ini aku bahagia?


Karena bisa kau hadirkan semua. Karena bisa kau tebarkan jutaan asa. Hingga sebongkah arang berbalut jelaga,
berkilau indah laksana sebutir permata.

Dry leaves


Saat dirimu tiada berdaya
Bahkan kala dirimu hilang asa
Kau sebut dirimu laksana pohon tua dengan sedikit ranting dan daun tersisa. 

Tapi apakah kau pernah tau? 
Aku tumbuh dibawah dahanmu
Menaungiku agar tak layu
Dari terik mentari yang bersinar selalu

Bertahanlah selama kau bisa
Pohon tua tak berarti hilang guna
Selama masih nyawa tersisa, dirimu bagiku adalah segalanya.

--March 2006--

My blue September


Rubiku, gladiousku. Tertahan nafasku saatku membisu. Menahan rinduku. Membayangkan dirimu. Menerawang anganku. Melayang tak tentu. Hanya pada satu… dirimu.

Novel hidup... Kamus Tebal


Mungkin perlu sampul tebal, tapi bukan tuk menutupi tipisnya kertas didalam. Mungkin perlu warna menarik, tapi bukan tuk menutupi hitam dan putih. Judul perlu dibubuhkan, tapi bukan berarti tanpa penjelasan. Disusun berurutan, tapi bukan berarti tak perlu mengacak tuk dapat jawaban.

Elang yang terkenang


Jagat malam menghentak mahluk malam ini dari buaian
Menghambur pergi, memecah lautan udara bumi yang menua
Melayang lepas, bebas Berayun beragam penjuru bak sisa gumpal kapas

Didepan gua tua tertahan langkah, kepak sayap tak terbentang sudah Elang malam ini enggan membuat gema hadir disana
Terdiam, bersila lalu menjura
Pertama satu, lalu dua, tanpa jura ketiga walau tak sulit menghantarnya
Guliran air bening bergulir dari sudut mata besar yang pekat hitamnya

“Jura pertamaku tetap hormat untuk bunda. Tak ubahnya jura kedua tuk ayahanda. Tak perlu lagi jura ketiga kusembahkan untuknya. Untuk suami belahan hati yang berbagi sarang dengan betina lainnya.”

Tergiang serdadu




Dia bersimpuh dengan tangan terlipat
Terisak pada serdadu-serdadu yang turun ke liang lahat

Kemarin kumpulan serdadu itu berjalan melaju didepan busur dan pedang saktinya, berarak-arak bertalian memadami api berkobar. 

Kemarin dulu pernah jua satu dua kumpulan bertandang kesana, tak kunjung laju terterkam auman para singa. 

Esok hari dia akan pulang. Mengadu pada bunda tentang serdadu yang mati. 

Dia ingin bersimpuh dengan tangan terlipat seraya bertaklimat, “Bunda, maka selamatkanlah daku dari kehancuran diri sendiri. Besok sedianya kau usir si pengutus perang agar serdaduku tak terus binasa terhadang”.

 --Maghrib, akhir desember 2007--