Januari 03, 2008

"Bidadari koma"

Mayat-mayat itu dinamai moral dan adab. Mereka telah tiada, telah dikremasi dan dilarung abunya. Cuma tertinggal sesosok raga kosong yang mengungsi ke ruang jiwa yang kotor dan pengap. Ada sedikit permata nurani berkilau serta setumpuk maksiat yang merimbun disana. Tubuhnya bergoyang cepat meluruhkan peluh korosi hati. Terbata-bata mulut mungilnya berceloteh soal Tuhan dan setan. Melenguh panjang untuk sesaat lalu berlari pada pecahan lembaran penukar surga hidupnya. Surga diantara bulu-bulu cerpelai, sepatu kaca, mutiara-mutiara menjuntai. Jangan lupa, belikan benang emas untuk sayap terkilirnya. Untuk bidadari dungu, juga tuli, juga buta. Untuk dirinya yang yatim moral dan piatu adab.

"Putih-putih melati"


Melati kecil berlari tergesa, mengukur pematang sisa sawah mengering. Melati kecil bercakap dengan angin, lalu mencerca semilir kuat yang mengarus deraskan layang-layang rapuhnya. Ia meraung meratapi remah sisa rapuhnya. Cuma bahagia itu yang tersisa, hanya kepingan itu sisa mimpinya, agar ia tak perlu pulang, agar ia tak meniti umurnya dikamar mungil bersama perempuan sundal bernama bunda.

Dilema, Tuhan!

"Tuhan, apakah Engkau bisa membiarkan aku bertanya tentang waktu? Kapan tumpukan nelangsa bersampul suka ini berhenti bergulung, Tuhan? Genderang besar kemuakan telah bertalu menggedor otak buntuku dan bergulung dalam lambung hati menunggu tuk memuntahi bumi-MU, Tuhan. Kaca-kaca bening telah memudar, enggan menonton dan memantulkan wajah membeku sisa bercinta pagi lalu. Gada-gada dilema yang tertambat telah bergetar menunggu terlempar ke permukaan udara langit dusta. Oh Tuhan, aku cinta dan benci kekasih tegap. Oh Tuhan, aku merindui juga belaian yang menguap. Oh Tuhan, aku juga mengekor cinta pendusta lembut ini, terpenjara dengan pendosa lembut pengorek luka indah yang tertanam bertubi".

Anggrek liar


Anggrek liar tertunduk sendu.
 Terbayang kampung halaman berkeliling padi menguning
Terbayang abah tercenung di beranda, mengetuk-ketuk jemari tua menanti kepulangannya
 Terbayang emak mengepul kayu kering tuk bara penanak sayur lezat
 Terbayang dua manusia yatim mungil bersiap di batas desa, berharap-harap cemas pada buah tangan kotak-kotak berpita
Anggrek liar tertunduk sendu.
Tak tegar nantinya menatap pasangan mata kecewa dan sedu sedan atas lembaran harta yang tersita paksa siang ini, setelah berbulan merengkuhi tubuh-tubuh penuh birahi dibale-bale sepi.

Dini


Embun yang menggantung di dedaunan
Mentari yang semburat dibalik awan
Burung-burung pagi yang mengalunkan nyanyian
Membuka hari untukku berjalan
Namun dinginnya udara, mimpi yang masih menggoda
Masih membuatku enggan dan segan untuk segera beranjak dari peraduan
Ini belum saatku untuk menerima
Ini belum saatku tuk berada disana
Sang pecinta, kau masih terlalu pagi tuk menyapa
Saat ini belum ingin kubuka mata
Atau beranjak dari masa yang ada

Jatuh cinta itu apa?

Jatuh cinta itu apa? Ia membuatmu bertanya-tanya, untuk sesaat kau diam mencoba menyakininya. Saat kau dapat jawabmu ia akan membuatmu termangu dalam sendu dan mengurungmu dalam rindu serta haru biru ruang hati.

Januari 01, 2008

Bukit berkabut


Langit memerah laksana bara yang hampir tertumpah. Awan putih segan untuk tetap suci, Cemara-cemara tua berayun dalam irama yang tak tentu, Pucuk-pucuk rapuhnya menuding menunjuk bukit. Menuding puncaknya yang menjinahi keagungan. Bergulung kilau senja menjauh, ia  malu… sangat malu. Biasnya menggugurkan niat gerbang malam terkuak. 

Anjing-anjing berliur itu, aku benci anjing-anjing berliur itu. Aku benci mata besar dan salak nistanya. Tapak kaki tak beralas mengotori hutan perawan, Dan dua kepalanya, berisi hasrat memakan segala. Ekor menggibas, memuja bukit subur, yang kemarin menyembunyikan bayang buruk dan kumalnya serta bau borok dibalik bulu gimbal. Duhai bukit agung berbalut lembayung, Dapatkah sesekali kau limpahkan setiamu pada kekasih? Pada si langit, si awan, dan si cemara yang menjadi teman tidur malammu?

Sahabat yang berpulang siang tadi


Sepi, sunyi. 
Cuma tertinggal beberapa kepala, tertunduk bisu tanpa makna
Diam. Sepi. Sunyi

Aku pandangi mereka, 
"Ananda, apa yang terlintas dibenakmu? 
Mega, adakah kata yang tertahan di bibirmu? 
Tak bisakah kalian berkata sesuatu? 
Umpatkan satu kata padaku, Kenzu! 
Apakah suaramu turut hilang, Bayu? "

Sepi, sunyi. 
Cuma isak pelan terdengar satu dua, tersembul lara dalam hati mereka
 Sedih, terkukung duka.

Aku berteriak, memekik dahsyat,
 "Hentikan saja tangis kalian! Hentikan sedu sedan tiada guna! Untuk apa? Tak kemana diri ini terbawa. Sahabat, aku cuma lelah, kemudian pasrah, lalu aku kalah. Aku berserah dengan jiwa terengah. Aku terdiam, maka hendaklah kalian juga diam"

Satu persatu langkah menjauh

Mereka meninggalkan tumpukan keping melati, meninggalkan kecewa atas diri ini, meninggalkan semua alasan mengapa langkahku terhenti

Beberapa kepala menyematkan pesan untuk si bodoh ini, “Kenapa kau mati hanya karena tertindas senyum kekasih sang suami?” 

Tertinggal sepi mengurungku. Tersisa dingin merongrongku. Terabaikan dibawah nisan baruku. Tinggal sepi, sunyi.

Pagi menggulir


Pagi sekonyong-konyong menghadang cerita mimpi tidurku. Menyorongkan alur senandung yang bergema merdu di antara mangkuk-mangkuk dalam dapur biruku. Kopi hangat miskin gula, berkepul-kepul dicangkir berbunga jingga. Tersaji jugalah sepiring nasi hangat, tak lupa berjajar garnis-garnis menyala memikat. Senyumku tak henti mengembang, meski bibir tipis bukanlah tanding yang seimbang. Menciumi tubuh wangiku sisa mandi di pagi buta, sisa basuhan aroma rempah nirwana. Aku mendesah serta merta, tak tahu kan kemana kuhibahkan semua bila hanya bangku kosong yang menyapa di ruang hampa. Oh, aku lupa… Tak kudapati tubuh semampaimu merengkuh tuk bermasyuk mesra malam lalu. Aku juga lupa bahwa telah ada putus dari bibirmu tuk melangkah berlalu. 

“Kamu pengecut!”, teriakku penuh deru, “Tak lekangkah janji setiamu dihadapan Tuhanmu?” 

Semampaimu telah jauh berlalu sejak waktu lalu. Berlalu setelah kau jatuhi dirimu dengan penghakiman kau gagal bertahan, setelah dihantui detik usia yang melangkah. Sementara tak juga kau dapati bibir-bibir mungil menyerukan dirimu AYAH. 

--Tengah malam, akhir desember 2007--

Jelita tua yang tertidur bertalam pasir


Dera tali kekang menghela, tak kunjung buat jelita tua berkeluh asa. Pun sudah ia sadari kini sudah waktunya untuk berhenti, mendinginkan peluh dalam gelap sisa hari. 

 Jelita tua yang eloknya tertinggal, sisa petualang cinta yang hatinya terpenggal. Kakinya terus berlari menapak diantara kerikil pasir. Tak ada iba hati tuan tanah yang mengekor dibelakang kusir. Nyinyir, mencibir, buat jelita tua tak habis berfikir. 

 Lunglai langkah hantar satu tanya getir tuk tuan tanah berbalut sutra ungu, “Adakah sedikit hati mengajakku menepi sebelum lanjut langkah berlalu?” 

Tak ada satupun desah dari bibir bisu berbalut jelaga tembakau. 

Jelita tua mulai mengubur tutur mendayu. “Aku berserah walau malam ini musti mati dalam lelah. Tak perlu nisan batu tuk kuburku atas tubuh yang tak lagi ayu. Bawa saja serta pemilik tangan mungil dan rambut ekor kuda yang tertitip di rahimku lima tahun lalu.” 

Mata besar jelita tua melayu, langkah kakinya membeku tertelan desiran bayu.

Untuk siapa aku berkeluh?


Aku berteriak untuk terik menyala
Memancar dan menyilaukan
Mengugurkan daun kering pohon tuaku
Terhempas ketanah basah sisa hujan semalam
Jatuh, bersetubuh dengan bumi
Terbakar habis disambar terik

Aku juga mendebat sang angin
Yang mengayun dan menghempaskanku
Yang menyeret sayap robek penuh luka
Yang menelanjangi tubuh setengah jiwa ini

Pusaran badai pun mendera tegarku hingga luruh segala dan tersisa satu dua nafas tersengal
Hampir mati tanpa sayap mengepak

Aku lalu berseteru pada kabut
Yang menggantung dan menggulung jalan
Yang membendung fatamorgana pagi tuk mata kecilku
Kuludahi, kubunuh kekuasaan kabut kusutmu
Tertinggal umpat bibir mungilmu
Dan kau memudar, menjauh dan mendendam

Aku lalu mengamuk pada si rambut merah
Yang menyusup dalam hati merah jambu kekasihku
Yang memenggal mimpi bertahunku
Aku terbakar walau aku terdiam dalam dingin ruang hati
Kusudahi dan akhirnya kutumpahkan darah untuk sesuatu yang kau panggil cinta
Kupasung asa dan terkurung tuk satu masa
Diam, sunyi, cuma aku dan sangkar besi

Untuk seseorang yang hari ini kupanggil SAYANG


Sayang, saat kita lihat semua
Memandang luas bidang yang ada
Sepetak ladang penuh cinta
Menanti kita tanam bersama
Kekerasan hati kita cangkuli
Kegersangan jiwa segera diairi
Benih kasih tertebar disetiap tepi 
Pupuk kasih dan sayang turut melengkapi
Namun, malang mendera
Hasil beruah tak didapati, benih kasih kita banyak mati
Kemarau datang menaungi, matahari garang menyinari 
Mungkin ladang terlalu luas
Lelah menggantung tak pernah lepas
Kerja kita perlu sedikit batas, walau hanya tuk sedikit hela nafas
Sayang, ternyata yang kita perlu cuma satu pot hati
Tak perlu  ladang luas tuk ditanami
Karena satu pot hati dengan cinta yang murni, mungkin bisa terus tumbuh abadi.

Aku, ombak, beratus hari


Kukuhku berdiri disini untuk menunggumu, ombak. 
Menjilat ujung kaki coklatku
Membaurnya bersama deraian pasir
Basah, berbuih dan mengering
Ombak beringsut pergi, jauh ketengah

Ini dia datang lagi
Menggulung tinggi, gemuruh riuh
Menyeret semua ketepi
Meninggalkan semua disana
Teronggok ditepian
Basah, berbuih dan mengering 

“Sudah beratus hari, ombak”, 
Aku berbisik untuk mengusik. 
Ombak acuh tak acuh terus bergulung
Tak peduli bisikku meninggi

“Aku tegar, ombak”, teriakku lagi. 
Ombak berdesir pelan
Berlari-lari dari tengah
Menyambangiku dengan cepat
Menjilat ujung kaki coklatku
Membaurnya bersama deraian pasir

“Tegarmu menguap diantara keluhmu”, 
Jawaban ombak menghujamku.
Dalam, dalam sekali
Kemudian pergi
Bergulung kembali ketengah samudera hati
Kukuhku berdiri disini
Menunggu ombak menepi
Lagi dan lagi

"Bilakah kamu bawa serta kekasih yang terlarung beratus hari?",
Aku bertanya
Lagi dan lagi

When you take my pride away


Ada tangis suatu malam saat mulut terbuka.

“Dik, aku mendua”, sayangku berkata. 

Aku tertawa balas menggoda, “Dengan ibu tercinta tak apalah adanya.” 

Sunggingan senyum tak merekah di bibirnya.
Jelas tak bermaksud melempar kelakar tuk canda tawa.

“Untuk apa abang mendua?”, tanyaku. 

Sorotan matanya tak lagi bijaksana. 

Satu bisikan datang menyapa, “Gadis tetangga tengah berbadan dua”. 

Tak sempat kutarik nafas menghela
Kalimat terlanjut tak lagi tercerna
Cuma sesak berlanjut gelap mata

Detik ini aku terdiam membisu
Meski sibuk berputar dalam pikiranku

Diluar sana musik mengalun merdu
Diiringi senyum bahagia si calon madu
Bergetarku dengan tangis tersedu
Kata setuju jadi penyesalanku

Semalam ada niat batal berlaku
Tak sempat terhujam satu mata tajam kedadamu
Seharusnya abangku tak ada disitu

Semalam sempat terpikir olehku
Tempat termanis untuk abang sayangku
Dihalaman belakang rumah mungilku
Dibawah tanah merah dengan satu nisan batu.

Mencari makna diri kekasih yang berfikir


Untuk apa senyum itu harus ada, sayang? Aku tahu, kamu pasti bahagia. Ada kenang yang bangkit meraja dikepalamu. Dia yang telah berlalu dan gerai rambutnya, gemulai berayun berderai tawa, dan wangi tubuhnya memperkosa akal dikepalamu. 

Sadarmu berlalu begitu saja. Terhempas ke angin senja. Tertiup bayu dari surganya. Lalu buat apa lamunan hadir? Aku tahu, otakmu sibuk berfikir. Bosankah kau lihat bibirku mencibir? Penatkah mencumbu gula-gula getir? Aku tahu, otakmu sibuk berfikir. 

Gamelan tarinya diotakmu terus membahana. Lalu untuk apa tangismu tetap ada? Ataukah jujurmu padaku sedang bertahta? Ataukah dirimu sulit bergemulai dengan masa yang ada.

Bila duka terus melanda, bila suka berbatas pecahan asa, bila nurani terus bergema dalam dusta, tangismu untuk apa? Cari, cari sendiri maknamu. Pikiranku sudah mati malam lalu. Mati dimakan lelahku. Mati dimakan cemburu. Teronggok kaku dalam ruang bisu.

Gema langit hati


Gua cintaku bergema
Mengundang petualang menginjak disana
"Mari, kita bercinta disudut ini",
ajakku senang

Namun runtuhan batu dalam gua hati, buat ekspedisi singkatmu tanpa arti
Peta hati yang telah kuberi
Tiada lagi ditanganmu kini
Cuma sesat dan ragu hadir didiri
Urungkan segala langkah untuk di titi.

Bait hatiku hari ini


Dengan lafal huruf terurut
Satu ungkapan buat diri terhanyut
Simpang hati buka jalan rasa tersulut
Hangat jiwa bakar hati yang terpaut
Kemarin telah lewat satu waktu
Satu hari lagi berlalu bersamamu
Bait hatiku hari ini cuma buat kamu
Agarku terus bisa hadirkan senyum bibirku.

Sapu tua di penghujung malam


Aku cuma sebuah sapu tua yang diletakkan disudut perapian duka
Batangku rapuh tiada lagi guna
Teronggok begitu saja tanpa harap tersisa
Tangis meringis jiwa yang terabaikan
Apakah jasa masih teringatkan? 
Bertahun kusapu pelataran
Akankah kini aku tersingkirkan? 
Menunggu waktu datang menjawab
Kekuatan hati akankah tersingkap? 
Berharap nasib baik datang mengendap
Beri rasa tuk sedikit harap.

Asa yang terperkosa


Ada rintihan berkejar terengah
Kemudian bibirnya bergetar penuh keluh kesah dan desah
Matanya basah, hatinya gundah
Terseret kesudut kamar hati nan suram
Pandang rambut dan jiwa yang sama kusut
Pandang juga baju dan hati yang sama robek
Sementara tangan berkuku runcing mengais sisa harapan dari ubin dingin tak bertuan
Kelangit-langit lapuk kelabu dan busuk
Wajah kurusnya menengadah dengan mata terpejam khusyuk
Harapannya hanya agar angin kejujuran dapat membawanya serta
Ketempat terindah dimana seharusnya ia bernaung, di bawah mega bahagia tanpa hujan tanda tanya.

Kenapa hari ini aku bahagia?


Karena bisa kau hadirkan semua. Karena bisa kau tebarkan jutaan asa. Hingga sebongkah arang berbalut jelaga,
berkilau indah laksana sebutir permata.

Dry leaves


Saat dirimu tiada berdaya
Bahkan kala dirimu hilang asa
Kau sebut dirimu laksana pohon tua dengan sedikit ranting dan daun tersisa. 

Tapi apakah kau pernah tau? 
Aku tumbuh dibawah dahanmu
Menaungiku agar tak layu
Dari terik mentari yang bersinar selalu

Bertahanlah selama kau bisa
Pohon tua tak berarti hilang guna
Selama masih nyawa tersisa, dirimu bagiku adalah segalanya.

--March 2006--

My blue September


Rubiku, gladiousku. Tertahan nafasku saatku membisu. Menahan rinduku. Membayangkan dirimu. Menerawang anganku. Melayang tak tentu. Hanya pada satu… dirimu.

Novel hidup... Kamus Tebal


Mungkin perlu sampul tebal, tapi bukan tuk menutupi tipisnya kertas didalam. Mungkin perlu warna menarik, tapi bukan tuk menutupi hitam dan putih. Judul perlu dibubuhkan, tapi bukan berarti tanpa penjelasan. Disusun berurutan, tapi bukan berarti tak perlu mengacak tuk dapat jawaban.

Elang yang terkenang


Jagat malam menghentak mahluk malam ini dari buaian
Menghambur pergi, memecah lautan udara bumi yang menua
Melayang lepas, bebas Berayun beragam penjuru bak sisa gumpal kapas

Didepan gua tua tertahan langkah, kepak sayap tak terbentang sudah Elang malam ini enggan membuat gema hadir disana
Terdiam, bersila lalu menjura
Pertama satu, lalu dua, tanpa jura ketiga walau tak sulit menghantarnya
Guliran air bening bergulir dari sudut mata besar yang pekat hitamnya

“Jura pertamaku tetap hormat untuk bunda. Tak ubahnya jura kedua tuk ayahanda. Tak perlu lagi jura ketiga kusembahkan untuknya. Untuk suami belahan hati yang berbagi sarang dengan betina lainnya.”

Tergiang serdadu




Dia bersimpuh dengan tangan terlipat
Terisak pada serdadu-serdadu yang turun ke liang lahat

Kemarin kumpulan serdadu itu berjalan melaju didepan busur dan pedang saktinya, berarak-arak bertalian memadami api berkobar. 

Kemarin dulu pernah jua satu dua kumpulan bertandang kesana, tak kunjung laju terterkam auman para singa. 

Esok hari dia akan pulang. Mengadu pada bunda tentang serdadu yang mati. 

Dia ingin bersimpuh dengan tangan terlipat seraya bertaklimat, “Bunda, maka selamatkanlah daku dari kehancuran diri sendiri. Besok sedianya kau usir si pengutus perang agar serdaduku tak terus binasa terhadang”.

 --Maghrib, akhir desember 2007--