Maret 16, 2008

Kuning Ayu

Mata "kuning ayu" berpendar-pendar, namun ceruk duka sisa kecewa masa lalunya masih berkubang nanah. Ada dilema karena harga dirinya kini tengah tertawar harga mati oleh pejantan-pejantan kehausan. Seketika ia merasa permukaan hatinya tercium begitu busuk. Menusuk! Ia biarkan sisa deretan dusta dan munafiknya terkokot rapi di rahim kalbu.

Malam ini pipi "kuning ayu" sudah berwarna macam badut. Merah merona warna warni. Badannya beraroma wangi setan pelantun lafal madu racun. Jarinya gemulai menjadi galah-galah lentik pencabut nominal. 

"Kuning ayu" berdansa menggila, gaun "kuning ayu" terus berkibar-kibar. Diiringi sorak sorai para mulut adam bermulut mesum penuh najis. Mereka berbaur dengan desah dan pujian lantang. "Kuning ayu" terus berpendar-pendar bak bola lampu dilantai dansa. Ia lupa pada putih dan hitamnya langit dunia.

Sementara jendela-jendela tua dikampung sana tengah tertunduk bisu menyertai balita-balita kuning muda disisinya. Punggung tangan mereka terus sibuk menyapu leleran airmata kerinduan mereka. Berharap kelak biang "kuning ayu"nya lekas kembali pada aur-aur tua peneduh lantai tanah di istana rumah bambunya dan merengkuh kembali cadar putihnya untuk mengaji disura.