Di jendela pagi, saat semua harus berpulang. Tertinggal
hati, semalam kutuai setumpuk senang. Sisi hati mengaduh, sisi otak menghardik
keluh. Tak habis memperkarakan pagi yang mencandu malam dan malam yang hanya
setarik candu.
Juni 18, 2012
Menunggu
Siang ini aku akan sibuk mengail hari, setelah itu aku akan
berdiri dibatas senja. Menunggu kedatangan mayat siang yang akan ditandu
ratusan deret menit lalu dikuburkan diatas bukit. Pisau kecilku sudah
kuselipkan dibalik senyum, ujungnya akan kupakai untuk menikam sepi malam
nanti.
*Mengerling dan mengikik pada matahari yang sedang sombong-sombongnya
pada siang ini*
Juni 17, 2012
Disudut sore
Sore
disudut cafe kecil, masih terduduk bersama Nina. Aku menarik sebatang rokok
dari bungkusnya dan meleburnya menjadi abu.
"Sore ini aku menantimu bertutur", Nina membuka suara. "Kepalamu sudah membesar, isinya perlu kau pecah agar kau tak gusar".
Aku menarik batang rokok terakhir. "Mendekatlah. Aku ingin berkhayal bersamamu...
KEMARIN DULU acap kali aku merapat ke kasur tua berisi kapuk-kapuk berdebu itu, berlapis sprei warisan milik ibu. Warna putih sudah serupa warna abu, tahun-tahun sebelumnya banyak jejak kaki nakalku melompat disitu. Wangi menyebar. Bau kamper. Ibu sudah menyimpannya dilemari selama 3 hari setelah sibuk mencuci. Bau kamper... aku rindu kamper dikamarku. Rindu masa lalu berbau kamper.
HARI INI aku akan merapat ke kasur asing dengan pegas didalamnya, berhias sprei tanpa bunga-bunga diatasnya. Masih ada sisa wangi cucian barunya, malam-malam sebelumnya banyak tumpahan cairan cintaku disana. Gairahku menyebar. Bau kelaki-lakiannya muncul lagi. Kami sudah terbiasa berkutat dikamar sempit ini setelah makan malam berdua. Bau pria... aku rindu kamar sempit disana. Rindu caranya membuatku mendesah.
ANGAN SOAL MASA DEPANKU, aku merindukan kasur empuk. Aku terbaring dengan bacaan ringan pelepas lelah. Disampingku ada laki-laki yang resmi dipanggil ayah karena kami telah meletakkan nama-nama kami dalam akta nikah. Gairah hidupku berbinar. Aku akan jadi ibu, meletakkan kamper dilemari untuk sibuah hati seperti ibu. Aku akan bercinta dengan pasangan hidup yang ku panggil ayah. Bila perlu kan kubuat pintu lemariku menganga saat bercinta. Agar ku ingat tentang kamper dari masa laluku, gelora gila hari ini, dan angan tentang mesra hari tua".
"Anganmu... Serupa anganku", kata Nina. Ia menerawang pada mimpi tentang kekasihnya.
"Ini tentang bercinta. Selebihnya dari cerita itu aku tak faham mengenai cinta". Aku mematikan rokokku. Meninggalkan Nina dan belasan puntung rokok dalam asbak coklat tua.
"Sore ini aku menantimu bertutur", Nina membuka suara. "Kepalamu sudah membesar, isinya perlu kau pecah agar kau tak gusar".
Aku menarik batang rokok terakhir. "Mendekatlah. Aku ingin berkhayal bersamamu...
KEMARIN DULU acap kali aku merapat ke kasur tua berisi kapuk-kapuk berdebu itu, berlapis sprei warisan milik ibu. Warna putih sudah serupa warna abu, tahun-tahun sebelumnya banyak jejak kaki nakalku melompat disitu. Wangi menyebar. Bau kamper. Ibu sudah menyimpannya dilemari selama 3 hari setelah sibuk mencuci. Bau kamper... aku rindu kamper dikamarku. Rindu masa lalu berbau kamper.
HARI INI aku akan merapat ke kasur asing dengan pegas didalamnya, berhias sprei tanpa bunga-bunga diatasnya. Masih ada sisa wangi cucian barunya, malam-malam sebelumnya banyak tumpahan cairan cintaku disana. Gairahku menyebar. Bau kelaki-lakiannya muncul lagi. Kami sudah terbiasa berkutat dikamar sempit ini setelah makan malam berdua. Bau pria... aku rindu kamar sempit disana. Rindu caranya membuatku mendesah.
ANGAN SOAL MASA DEPANKU, aku merindukan kasur empuk. Aku terbaring dengan bacaan ringan pelepas lelah. Disampingku ada laki-laki yang resmi dipanggil ayah karena kami telah meletakkan nama-nama kami dalam akta nikah. Gairah hidupku berbinar. Aku akan jadi ibu, meletakkan kamper dilemari untuk sibuah hati seperti ibu. Aku akan bercinta dengan pasangan hidup yang ku panggil ayah. Bila perlu kan kubuat pintu lemariku menganga saat bercinta. Agar ku ingat tentang kamper dari masa laluku, gelora gila hari ini, dan angan tentang mesra hari tua".
"Anganmu... Serupa anganku", kata Nina. Ia menerawang pada mimpi tentang kekasihnya.
"Ini tentang bercinta. Selebihnya dari cerita itu aku tak faham mengenai cinta". Aku mematikan rokokku. Meninggalkan Nina dan belasan puntung rokok dalam asbak coklat tua.
Nina
Ponsel saya berdering. Itu Nina, hantu yang terus mengetuk pintu depan rumah
saya. Suara paraunya menyapa diseberang sana, memenuhi telinga saya. Saya terdiam, membiarkan ia membuka suara...
"Kawan, saya terbangun dipagi ini. Lagi-lagi saya meng-hamdalah-kan
penambahan waktu yang diberikan Tuhan pada saya. Saya mengerjap mata sembab
setelah bangun dari tidur yang tak pernah dibilang teratur. Saya tidak tahu berapa
jumlah umur tersisa yang tercatat pada notes sang Pencipta. Entah mengapa hari
ini saya terpikir tentang waktu tersisa, sementara rasanya baru kemarin hidup
ini bermula. Saya masih memuja cara berpikir saya tentang memudahkan nilai
kebahagiaan yang Tuhan beri menjadi keping hura-hura, mengecilkan nilai dosa,
melegalkan semua yang saya kira menjadi pembenaran logika. Saya ingin menutup
mata tentang jumlah usia yang menjadi angka pasti dalam phase kehidupan
saya. Tapi terkadang saya bergidik melihat perempuan lain mengerang pada saya.
Membuat saya tak bisa menghindari fakta dosa dalam usia...
Kawan, mereka yang bergantian menangis tentang bersuami tapi terkhianati,
beranak tapi mereka melunjak, berkecukupan tapi terabaikan, bahagia tapi penuh
drama, miskin dusta tapi minus romansa. Mereka mengabari saya tentang suasana
hatinya. Berceloteh bahwa mereka akan membuang sesaknya, mengail
pikiran-pikiran indah, memburu haru biru dalam kisah nirwana, melambung dalam
hiruk pikuk pelataran kesenangan, bahkan bertanya pada saya tentang mampu kah
saya mencarikan bubuk setan untuk melepaskan lelahnya. Mereka terdengar seperti
teriakan perawan hanyut disungai, tergiang ditelinga saya. Lalu mereka pun
larut pada ladang kesenangan mereka. Menjadi tamak, kasar dan liar. Memonopoli
dosa dan mengadopsi nista untuk obat penebus airmata. Dan hidup mereka pun
hampir serupa dengan saya, menjadi manusia yang tak pernah mendapati matahari
untuk dijumpa. Hidupnya serba tentang kelam, tentang bersenandung dalam dingin
malam.
Kawan, lalu hari itu saya terbangun dengan isi kepala tak menentu. Itu
pertama kalinya dalam beberapa tahun saya melihat terang. Matahari! Itu
matahari! Saya hidup disiang hari! Itu keajaiban! Itu rekor yang harus
dirayakan! Saya berlari keluar, saya berdiri didepan jendela, ada tubuh berisi
saya didalam bayangan. Disana juga ada benda yang jelas tertera, keriput saya.
Astaga! Setua inikah saya? Berapa usia saya? Kapan saya melewatkan usia kepala
tiga saya? Kapan saya berada diusia ini? Seingat saya, saya tak pernah amnesia.
Saya menangis hari itu. Saya merasa sia-sia. Siang itu pun sirna, kelam langit
malam menghampiri saya, merangkul dan mengajak saya bergumul dibawah butiran
bintang.
Kawan, saya ingin berlari dengan daster saya, dengan mata sembab saya. Saya
ingin menciduk wanita-wanita dari lantai dansa, kasur durjana, cafe maksiat
penyedia obat keparat, juga perkumpulan yang berujung dengan pergumulan.
Menyelamatkan mereka dari dunia yang tak seharusnya. Tapi langkah kaki saya
tersendat disatu sudut, saya mengumpulkan titik perspektif pandangan mata saya
pada bayang laki-laki. Laki-laki yang bukan milik saya, tapi nekat saya akui
menjadi milik saya. Laki-laki yang menjadi alasan saya menempatkan egoisme saya
atas sesuatu yang terus saya sebut-sebut sebagai cinta. Saya singgah disana,
lupa pada wanita-wanita yang harus saya kembalikan. Saya bercinta dengannya
dibawah bintang, saya meneguk haus kerinduan yang menggunung hingga dering
telpon dari perempuan miliknya diseberang sana pun pasti terabaikan. Dan saya
pun menggulung keresahan tentang gundah itu dalam ciuman-ciuman hangat
bertubi. Saya tidak ingin mengingat ini sebagai dosa baru. Saya ingin menutup
ingatan bahwa saya sudah menambahkan sesosok tokoh nelangsa, wanita baru yang
kemungkinan besar akan menggabungkan pecahan hatinya dengan wanita-wanita
teraniaya diseberang sana. Wanita yang akan berteriak bagai perawan hanyut,
mungkin juga menjadi wanita yang akan menumpahkan lukanya pada pikiran-pikiran
durjana, menjadi wanita yang mengusung perih hidupnya sebab laki-lakinya
tersita bersama saya. Ma'afkan saya, wahai dunia. Ma'afkan saya,
kawan..."
Dan saya tetap terdiam meski isaknya membahana. Saya tahu perlahan tapi
pasti suara Nina akan memudar, dirampas jujur yang mulai mengakar. Nina menutup
telponnya. Tersisa saya dan ponsel tua.
Sakit
Negeri
sim salabim sedang terbaring dikamar VIP sebuah rumah sakit. Kepalanya retak, bajunya koyak-koyak. Ia meraung-raung. Aku mengintipnya dari sudut gelap
“GALAU!”, katanya.
"Kau sakit apa?", tanyaku sangat pelan.
“Aku sekarat, bebanku semakin berat. Pagar-pagar aturan patah diterobos,
hal-hal gratis harus berongkos. Si bisu dan sibuta selalu kalah, si banyak akal
sering pongah. Si penis mulai mengenakan BH macam
pemilik vagina, si vagina meradang karena mampu berotot namun tetap dianggap
nomor dua. Bayi-bayi kurus dan miskin merengek susu dari payudara kendur,
bayi-bayi montok tersingkir dari ibu yang tak tahu bersyukur. Cerita si miskin
menjadi program di tivi, kelakar si kaya menjadi tontonan digubuk-gubuk sepi”.
Negeri sim salabim bergetar, mencoba tegar.
“Semoga kau lekas sembuh”, kataku lembut.
Aku beringsut menjauh. Kembali ke selasar rumah
sakit. Duduk tertunduk dan beku membisu. Obat untuk buah hati harus ditebus,
sementara uang hasil mengais sampah sudah tergerus.
Mendua
Jatuh cinta itu tak mengenal logika. Seperti juga seseorang
pun tidak dapat menjelaskan mengapa seseorang bisa kembali jatuh cinta lalu
mendua. Dan kemudian ia menunjuk hatinya sebagai tersangka yang tidak bisa
menolak kehadiran rasa sebagai alasan pembenaran. Lalu setelah itu ia hanya
diam termangu dalam haru biru dinding-dinding yang terlihat merah jambu.
Langganan:
Postingan (Atom)