Agustus 13, 2012

Bunting

"Tengah malam sebentar lagi. Aku akan membawamu kerumahku, sahabat", ajakku.

"Apa gerangan yang kau buat tengah malam nanti, wanita besar?"

"Aku akan melahirkan sekeranjang mimpi".

"Kau hamil?"

"Ya. Rahimku telah dibuntingi tubuh-tubuh berisi harapan minggu lalu. Malam ini aku akan berpesta untuk bayi mimpiku dan kau, sahabat baikku".

"Jadi lah bila begitu!"

Dan aku pun tersenyum lalu melenggang. Pulang. Membawa serta calon bayiku dan juga sahabat baik ditangan kananku, si rokok putih yang hampir hambar dimakan malam.

Sudut ramadhan

Rokok ia hisap. Cuma itu penawar gaduh ditelinga. Rengekan nona kecil soal sepatu sekolah yang mulai bolong dan bahan pangan yang kosong tak lagi memenuhi lorong telinga, suara-suara itu sudah terseret paksa bersama asap yang membumbung.

Tapi rokok itu pun habis, bayangan pahit kembali mengiris. Pahit yang telah bertahun-tahun ditenggak nona kecilnya. Pahit yang berupa serbuk, pil, kapsul, dan cairan yang harus masuk kedalam tubuh nona kecil ayu dirumahnya. Nona kecil yang lahir dari rahimnya setelah banyak sperma berjejal disana. Nona kecil yang kini tengah sibuk menombaki penyakit dengan semangatnya.

Ia pun menenggelamkan semua dengan menari. Bergoyang dengan peluh yang luluh dari pori-pori kulit kepala hingga selangkangan yang menua. Gaun tipisnya selalu terserak entah kemana. Usia muda sudah mulai meninggalkannya dan ia tetap berdiri menanti banyak tangan-tangan genit yang akan menggamit. Ia tertawa-tawa untuk bahagia mereka, berseloroh dalam lantur agar duka mereka terkubur. Lalu dalam sesaat ia sudah tenggelam, mengukir tumpukan nilai nikmat. Dan ia tetap menutup telinga dari sebutan pelacur tua, dan sesungguhnya itu membuatnya merasa tetap baik-baik saja.

Pagi menjelang. Ia pulang. Nona kecil ayunya terbaring tak bergerak. Dingin. Ia tertidur setelah lelah menunggu bunda tersayangnya dalam sebuah do'a di dini hari buta. Sebuah kitab suci menempel ditangan, menemani tidur panjangnya, tidur yang telah mencabut sakitnya. Tidur yang diharapkan membawa bundanya kembali pada ramadhan.

Jasad bernama harapan

Nina kembali. Terduduk diteras rumah menjelang subuh tadi. Aku ingin mengusirnya agar ia tak menjadi hantu kesiangan. Tapi aku segera teringat bahwa ini ramadhan, para pemburu hantu pasti sedang sibuk beribadah di rumah Tuhan. Maka kubiarkan ia duduk dikursi berdebu, menunduk bisu. Aku menarik kursi, mendudukan bokong besarku diatasnya. Kami terdiam sekian lama, airmataku mulai bergulir diatas pipi yang mulai menua. Aku terisak, persis seperti Nina.

"Kesetiakawananmu tak kupungkiri", kata Nina dengan suara yang sedikit parau.

"Sebab apa hingga kau simpulkan aku dengan demikian?"

"Kau turut berduka saat aku berduka. Padahal kau pun tak tahu pasal".

"Pasalmu memang aku tak menahu. Tapi bukan itu yang mendera hatiku. Aku menangis karena aku baru saja melihat kematian".

"Kematian?"

Aku tak menjawab. Aku bangkit dari dudukku.

"Kemana kau hendak beranjak?", sergahnya.

"Mengubur jasad yang baru mati".

"Jasad siapa?"

"Jasad harapan yang kau seret semalaman hingga ke teras rumahku. Jasad yang kau pilih untuk mati dalam tangis ketimbang kau pertahankan dalam genggaman".

Nina membisu. Teriakan muadzin menggema dari pengeras suara. Memanggil semua yang bernafas untuk bersujud ikhlas dan menyentak hantu gentayangan agar pulang ketempat mereka bersemayam. Nina pulang dan suatu saat nanti ia pasti akan kembali, menyapaku dari seberang telpon yang sep

Juntai

Tadi malam aku melihat Nina berkelebat disampingku. Ia berdiri disudut teras sebuah surau. Gaun putihnya menyentuh lantai dan tangan dinginnya dipenuhi benang-benang menjuntai. Ia menatapku, suatu perintah keras agar aku mengambilnya dengan bergegas.

"Boleh kutahu apa yang harus kulakukan dengan ini semua?", tanyaku.

"Menyulam hidupmu".

"Tapi aku tak ingin menjadikan hidup ini sebagai sebuah sulaman, melainkan lukisan".

"Lukisan mana yang kamu ceracaukan? Lukisan berisi awan yang warna birunya kamu sita dari laki-laki durjana? Lukisan berisi mawar yang indahnya kamu torehkan dari raungan kamar ke kamar? Lukisan berisi deretan melati yang wanginya kamu curi dari lumbung hati suami-suami sepi? Lukisan batu yang kau agungkan macam safir biru?"

Aku tak bersuara.

"Mulailah menyulam. Hati-hati dengan pilihan polamu, atau kamu hanya akan melebur detikmu dalam sebuah kesia-siaan berbentuk kesimpang siuran".

Aku mengangguk.

"Dan hentikan menggauli banyak lebah madu dan ular dibawah batu. Bukan bisa mereka yang akan membuatmu mati, tapi janji-janji berlafal Tuhan yang takkan terpenuhi", tegas Nina.

Mataku berkaca-kaca. Bayang Nina ikut lebur didalamnya.

*Sebentuk alur dan penokohan pagi menjelang akhir ramadhan*