September 20, 2012

Asbak




Disudut yang sama. Duduk bersama Nina dan dua cangkir teh hijau kental tanpa gula.

"Kamu sakit, wahai wanita serupa langsat?", tanya saya seraya meneliti sinar matanya yang redup.

Nina meraih ponselnya. "Bila pun saya mengiyakan, tolong berikan saya nomor tabib kelas wahid".

"Saya tak menahu tentang itu. Apa tak sebaiknya kita bicara?"

Nina memandang saya. Lekat. Ia berusaha mengail rasa perca
ya dari mata saya. Beberapa saat kemudian bibir indahnya membuka suara...

"Detik ini saya sadari saya masih harus jadi pasien. Masih ada luka yang kembali menganga. Usia berlanjut tanpa seorangpun bisa jadi penyembuh. Bawakan saya tabib dengan obat mujarab, dukun tampan yang enggan mengeruk kesenangan, dokter pandai minus rayuan.

Saya lelah menutup malam dengan setumpuk dendam yang acap kali kembali. Ingin saya memangsa pria dengan cara yang paling manis, dengan impian tinggi, dengan segala kenikmatan yang bisa saya beri, tanpa perlu tahu bahwa esok hatinya akan teriris.

Saya letih mengikuti langkah serigala-serigala. Saya cuma kucing hilang dan mencari rumah berisi hati tempat berpulang. Saya ingin ditiduri orang yang saya cintai tanpa membayangkan sebuah belati. Saya ingin sembuh. Lelah menjadi pasien.

Bawakan saya penyembuh, sang penjaga hati diumur yang tersisa agar saya tahu untuk apa melanjutkan tarikan nafas tersisa..."

Saya menarik cangkir teh. Menyeruputnya.

"Kamu tentu tahu rasa teh ini", kata saya.

"Pahit", jawabnya cepat.

"Tapi nikmat".

Nina mengeryitkan dahinya. "Apa yang hendak kamu sampaikan, wahai wanita sawo matang?"

"Dunia ini dipenuhi pelacur. Manusia-manusia yang melacurkan dan melucahkan jiwa dan pikiran mereka untuk berbagai titik kenikmatan. Nikmat yang pahit. Dan dunia ini dipenuhi penikmat, macam kamu, saya, mereka dan mereka yang lain. Macam si tabib, si dokter, si dukun, si serigala dan si kucing".

Saya meraih bungkus rokok putih ditas saya. Menyodorkannya pada Nina. Sore ini akan kami habiskan untuk membakar sebungkus nikmat.

Tangis



Pagi bergema oleh pekik remaja. Diatas aspal yang masih dingin ia mengejar perwujudan mimpi yang baru saja dibawa lari. Nafasnya tertahan, ia berhenti di mesjid ujung jalan. Terduduk, lemas dalam keadaan setengah mengantuk. Asanya putus, sementara nilai perhitungan kewajiban belum selesai terurus.

Ia mengacak rambutnya berkali-kali dan menangis. Lama ia tercenung diatas teras mesjid. Sebuah kesadaran mulai menggerogoti otaknya.

"Kehilangan benda berharga tak harus membuat
batin miskin. Yang ku perlu hanya keluar dari kebencian yang mulai mengakar. Kubangun tumpukan ikhlas diatas ramadhan kemarau ini. Ramadhan yang selalu kukecilkan nilainya ditahun-tahun sebelumnya. Semoga apa yang terlepas dariku hari ini bisa membahagiakan diri serta keluargamu di hari fitri nanti".

Ia melenggang pulang dengan lemas, teringat seandainya ia menjalankan apa yang semalam telah ia gagas. Seandainya ia tetap i'tikaf dan tidak pulang, seandainya tawaran kawan-kawan tuk berkendara tak menjadi penghalang.

*Subuh yang gaduh. Saat sepasang kaki kecil berlari mengejar motor cicilan yang tercuri*

Waktu, Setetes Madu Yang Mengandung Racun


"Abang mendua. 7 tahunku terenggut dengan hina", teriak perempuan didepan Muti.

"Tak ada lah abang bermaksud menghina. Ini semua serangkai khilaf saja", laki-laki didepan Muti tak berhenti membela diri.


"Kau sebut khilaf cuma tuk mengemis ma'af karena kau pikir hati ini pun tak akan kikir", balas perempuan itu lagi. Kali ini dengan terisak.


"Abang tak bisa bersuara banyak bila kau terus terisak".


"Aku terisak karena sesak".


"Abang tak berbuat hal-hal yang khianat. Abang akan mengatakan atas nama Tuhan"


Beberapa saat mereka diam. Tangis perempuan itu reda. Ia berlari mendekap sang lelaki. Nama Tuhan telah menyelamatkan sebuah keributan. Laki-laki itu menyuruh perempuan itu pulang agar gundahnya hilang. Sebuah janji untuk menyusulnya setelah ia pergi akhirnya disepakati. Laki-laki itu membereskan pekerjaannya. Melintasi Muti yang berdiri sendiri dan mematung dengan kesedihan yang terus bergulung. Airmatanya mulai berderai.


Malam itu pun lengkap. Ada wanita berstatus istri yang terkhianati namun terus dikelabuhi, ada pria berstatus suami yang terus membela diri dan menyanjung kepalsuan diatas nama Tuhan, juga ada wanita bernama Muti yang baru memutuskan pilihannya menjelang malam kemarin. Pilihan tentang mengakhiri hidupnya dan menjadi hantu penasaran selepas senja, ketimbang mengakhiri hidup seorang laki-laki dan menjadi pesakitan dikandang besi.

Do'a


 Photo: "Alhamdulillah. Masa yang dikatakan sebagai sebuah masa gemilang dari sebuah perjuangan panjang itu pun datang untuk kamu, Rumi", ujar bunda dengan bangga.

Rumi hanya terdiam. Perkataan bunda barusan tak membuatnya berpaling dari bacaan.

"Bunda bahagia. Bunda bangga. Tak adakah bangga yang turut dihatimu?", tanya bunda.

"Diamku adalah besarnya banggaku. Seperti juga ketika dulu beratnya deritaku tinggal dalam diamku. Miskin tanpa jeda", jawab Rumi. 

"Mengapa kamu begitu ketus bertandas tentang miskin, anakku?"

"Bunda mau tahu kenapa?", Rumi menurunkan bacaannya. Bukan sekali atau dua aku mengeluhkan tentang pilihan, tentang kesempatan menikmati masa muda yang menggoda tanpa harus melulu menyiksa tubuhnya dengan kerja. Duniaku hanya terbatas buku dan membantu pekerjaan bunda. Lelahku hanya terbayar dengan wejangan bunda tentang tak menumpuk keluh diantara peluh dan selalu berucap hamdalah atas nikmat Allah. Bunda tak pernah tahu bahwa aku bertempur dengan rasa malu karena aku tak banyak tahu tentang masa mudaku yang terseret berlalu. Bunda lebih memilih membesarkan aku dalam keadaan tanpa pilihan ketimbang kembali kerumah besar yang seharusnya menjadi milikku, milik saudagar kaya yang bisa kupanggil ayah hingga umurku menua. Kini ketika perjuanganku telah sampai pada cita-cita, aku sungguh tidak tahu bahagia itu seperti apa karena miskin pernah merenggutnya. Bila ini dikatakan sebuah keberhasilan maka ini adalah keberhasilan sebuah do'a setelah duduk berlama-lama, jauh lebih lama ketimbang sepotong do'a milik bunda sebelum akhirnya  kembali sibuk menekuni urusan dunia".

"Ya Allah, Rumi... ", bunda terisak. Dadanya sesak. "Ma'afkan bunda yang telah menggelar begitu banyak penderitaan didepan matamu, nak".

Rumi diam bergeming. 

Bunda mengelus kepala Rumi dengan airmata berlinang. Tangan kasarnya menyentuh lembut rambut buah hati satu-satunya. "Pertama, bunda lebih memilih membiarkanmu bertempur dengan rasa malu tentang tak mengetahui hal ini dan itu karena bunda tak ingin membiarkanmu menggilai masa mudamu untuk menggandrungi hal-hal tabu bersama sekumpulan orang yang kamu sebut kawan. Kedua, bunda membesarkanmu bukan tanpa pilihan. Saudagar yang ingin terus kau sebut sebagai ayah itu hampir saja menjual kita untuk menebus hutang judi yang terus menggerogoti, hingga akhirnya bunda memutuskan untuk membawamu pergi sampai kesini. Bila perjuanganku untuk menyelamatkanmu dulu kamu sebut sebagai sebuah kekeliruan, bunda memohon untuk dima'afkan. Ketiga, bunda memang selalu terburu-buru kembali menekuni urusan dunia hingga hanya mampu membuat sepotong do'a. Juragan Salim tempat kita bekerja telah memberikan rumah tua ini untuk tempat berteduh kita, telah mengambil banyak mantri untuk menyembuhkanmu saat wabah melanda dulu, dan membiarkan kita mengambil banyak hasil pangan untuk dinikmati saat kita kehabisan uang dipundi-pundi. Dan itu selalu membuat bunda tekun menjalani urusan dunia untuk membayar jasanya pada kita dan mentitahmu untuk selalu berucap hamdalah. Mungkin dudukku dalam do'a tak selama waktumu memohonkan do'a pada sang pencipta, tapi hanya satu yang selalu terucap dalam sepotong do'aku untukmu disela sujudku yang tergesa..."

"Apa itu bunda?", tanya Rumi yang mulai berlinang airmata.

"Bunda hanya inginkan terkabulnya semua do'a yang kamu panjatkan disetiap harinya", jawab bunda tersenyum.

Tangis Rumi pun pecah. Ia memeluk bunda. Bunda yang seumur hidupnya ia anggap hanya memberinya kesulitan saja. Dari mesjid desa beduk terdengar mulai ditabuh bertalu-talu. Suara takbir mulai memenuhi udara pagi. Bunda menyeka airmata anaknya dan menyuruh Rumi untuk segera mengambil mukenah, sholat Idul Fitri segera digelar. Mereka keluar dari rumah dan berjalan dengan rapat. Dan pagi itu pun menjadi hari yang fitri untuk sebuah nikmat bathin yang luar biasa. Bagi Rumi dan Bunda.
"Alhamdulillah. Masa yang dikatakan sebagai sebuah masa gemilang dari sebuah perjuangan panjang itu pun datang untuk kamu, Rumi", ujar bunda dengan bangga.

Rumi hanya terdiam. Perkataan bunda barusan tak membuatnya berpaling dari bacaan.

"Bunda bahagia. Bunda bangga. Tak adakah bangga yang turut dihatimu?", tanya bunda.

"Diamku adalah besarnya banggaku. Seperti juga ketika dulu beratnya deritaku tinggal dalam diamku. Miskin tanpa jeda", jawab Rumi.

"Mengapa kamu begitu ketus bertandas tentang miskin, anakku?"

"Bunda mau tahu kenapa?", Rumi menurunkan bacaannya. Bukan sekali atau dua aku mengeluhkan tentang pilihan, tentang kesempatan menikmati masa muda yang menggoda tanpa harus melulu menyiksa tubuhnya dengan kerja. Duniaku hanya terbatas buku dan membantu pekerjaan bunda. Lelahku hanya terbayar dengan wejangan bunda tentang tak menumpuk keluh diantara peluh dan selalu berucap hamdalah atas nikmat Allah. Bunda tak pernah tahu bahwa aku bertempur dengan rasa malu karena aku tak banyak tahu tentang masa mudaku yang terseret berlalu. Bunda lebih memilih membesarkan aku dalam keadaan tanpa pilihan ketimbang kembali kerumah besar yang seharusnya menjadi milikku, milik saudagar kaya yang bisa kupanggil ayah hingga umurku menua. Kini ketika perjuanganku telah sampai pada cita-cita, aku sungguh tidak tahu bahagia itu seperti apa karena miskin pernah merenggutnya. Bila ini dikatakan sebuah keberhasilan maka ini adalah keberhasilan sebuah do'a setelah duduk berlama-lama, jauh lebih lama ketimbang sepotong do'a milik bunda sebelum akhirnya kembali sibuk menekuni urusan dunia".

"Ya Allah, Rumi... ", bunda terisak. Dadanya sesak. "Ma'afkan bunda yang telah menggelar begitu banyak penderitaan didepan matamu, nak".

Rumi diam bergeming.

Bunda mengelus kepala Rumi dengan airmata berlinang. Tangan kasarnya menyentuh lembut rambut buah hati satu-satunya. "Pertama, bunda lebih memilih membiarkanmu bertempur dengan rasa malu tentang tak mengetahui hal ini dan itu karena bunda tak ingin membiarkanmu menggilai masa mudamu untuk menggandrungi hal-hal tabu bersama sekumpulan orang yang kamu sebut kawan. Kedua, bunda membesarkanmu bukan tanpa pilihan. Saudagar yang ingin terus kau sebut sebagai ayah itu hampir saja menjual kita untuk menebus hutang judi yang terus menggerogoti, hingga akhirnya bunda memutuskan untuk membawamu pergi sampai kesini. Bila perjuanganku untuk menyelamatkanmu dulu kamu sebut sebagai sebuah kekeliruan, bunda memohon untuk dima'afkan. Ketiga, bunda memang selalu terburu-buru kembali menekuni urusan dunia hingga hanya mampu membuat sepotong do'a. Juragan Salim tempat kita bekerja telah memberikan rumah tua ini untuk tempat berteduh kita, telah mengambil banyak mantri untuk menyembuhkanmu saat wabah melanda dulu, dan membiarkan kita mengambil banyak hasil pangan untuk dinikmati saat kita kehabisan uang dipundi-pundi. Dan itu selalu membuat bunda tekun menjalani urusan dunia untuk membayar jasanya pada kita dan mentitahmu untuk selalu berucap hamdalah. Mungkin dudukku dalam do'a tak selama waktumu memohonkan do'a pada sang pencipta, tapi hanya satu yang selalu terucap dalam sepotong do'aku untukmu disela sujudku yang tergesa..."

"Apa itu bunda?", tanya Rumi yang mulai berlinang airmata.

"Bunda hanya inginkan terkabulnya semua do'a yang kamu panjatkan disetiap harinya", jawab bunda tersenyum.

Tangis Rumi pun pecah. Ia memeluk bunda. Bunda yang seumur hidupnya ia anggap hanya memberinya kesulitan saja. Dari mesjid desa beduk terdengar mulai ditabuh bertalu-talu. Suara takbir mulai memenuhi udara pagi. Bunda menyeka airmata anaknya dan menyuruh Rumi untuk segera mengambil mukenah, sholat Idul Fitri segera digelar. Mereka keluar dari rumah dan berjalan dengan rapat. Dan pagi itu pun menjadi hari yang fitri untuk sebuah nikmat bathin yang luar biasa. Bagi Rumi dan Bunda.
 

Subuh, Penyerahan Yang Utuh


Tubuh yang menggigil adalah panggilan buatmu
Jarum jam mencolek-colek dada busungmu agar pulang
Lewat rute yang sama
Yang maghrib tadi kamu lewati bersama wangi cendana
Bersama rok pendek yang kamu sebut lintah karena lekat dan ketatnya
Bersama langkah sendal yang menggema saat berlalu didekat teras surau.

Kamu pulang tidak sempurna
Ah, BH-mu entah kemana
Dicuri laki-laki iseng
Laki-laki muda berkacamata yang haus belai
Yang menukar desahnya dengan lembaran rupiah
Yang mengganti nilai sungkan atas jilatan dengan janji sebuah perhiasan
Yang menghamburkan dukanya diranjang agar kamu memungutinya dan menukarnya dengan nikmat berjuta-juta
Dan BH-mu itu, entah dia bawa kemana
"Hendak kujadikan cinderamata", begitu kata si kacamata.

Kamu pulang berlari-lari
Berlomba dengan suara muadzin yang memecah subuh
Pagar bambu dihalaman menyapa pulangmu dengan acuh tak acuh
Mungkin sudah bosan menyapa datang dan pulangmu yang selalu lusuh
Kamu tak peduli
Kamu tergopoh-gopoh mengguyur tubuhmu
Mengguyur rambutmu
Kepala
Dada
Vagina
Paha
Hingga seluruh kakimu yang telah terjajah lidah si kacamata

Setelah itu kamu sambar mukenah
Berdiri dibelakang laki-laki yang sudah sedari tadi menanti
Kamu terdiam dalam khusyuk
Sesekali kamu dengar batuknya yang tidak bisa pensiun setelah berobat bertahun-tahun
Kanker, begitu kata dokter.

"Seminggu ini aku tidak membawa serta malu ku seperti kemarin dulu. Aku menumpuknya dihalaman belakang sebelum pergi. Toh menggondol malu dibelakang bokongku tak juga bisa membuat harga obat-obatmu dan susu anakku menjadi murah", katamu setelah salam pengakhiran selesai terucap. Air matamu mengalir bebas dari pelupuk.

Laki-laki itu merengkuh kamu. Isaknya pecah. "Pengorbanan besarmu ini, aku tak tahu harus menyebutnya berjihad atau keputusan yang sangat bejat, wahai istriku".

"Ma'afkan aku...", katamu.

"Untuk apa?", tanya suamimu.

Kamu mencium punggung tangan suamimu dan berkata lirih, "Karena aku belum bisa menjadi pendosa yang tegar, baik dan benar".

Lalu kudengar tangis anakmu pecah, lelahmu terseret keatas kasur. Menemani si kecil agar tertidur lagi. Diatas sprei kumal yang hampir tak terganti.

Diatas aspal Bekasi Barat

Dan kekasihku pun berpisah arah pulang di dini hari tadi, menyisakan sepi dan rindu yang masih memburu didalam mobil biruku. Seketika itu pula kudapati Nina memasuki mobilku dengan langkahnya yang ringan seperti biasa dan menduduki jok belakang dengan tenang.

"Halo Nina. Tengoklah. Aku baru saja menemukan harta karun", kataku sambil menepuk-nepuk bungkusan disamping jok ku. "Sekian lama aku merindukannya".

"Itu makanan rakyat", ujarnya.

"Namun begitu sulit mendapatkannya.
Terasa macam berburu harta saja".

"Apa istimewanya?"

"Aku merindukannya. Aromanya menerbangkanku pada potongan ceria masa kecilku. Kue hangat berbahan tepung yang tersuguh diwarung, itu pemandangan pagi yang membuatku tak dapat menahan diri", aku mengendus kue itu sambil terbayang pada masaku menggilai layang-layang.

Nina terdiam. Ia mendekatkan dirinya ke jok depan. Memandangi kue itu diantara remang cahaya lampu jalan yang jatuh kedalam ruangan. Disebuah persimpangan aku berhenti menunggu lampu hijau menyala. Seorang bocah perempuan yang menginjak remaja memainkan gitar kecilnya dari balik kaca luar, entah 'pertunjukan' lagu apa yang sedang ia gelar. Aku menyorongkan dua keping koin lewat kaca yang hanya aku turunkan beberapa senti demi alasan keamanan. Ia mengambilnya dengan sopan namun dua anak lainnya berusaha memperebutkan. Bocah perempuan itu tak marah dan terlihat mengalah ketimbang harus tunduk pada amarah. Uang itu pun berpindah tangan pada remaja laki-laki yang terlihat lebih tua. Tapi kemudian remaja laki-laki itu memberi sepotong roti sebagai ganti. Anak perempuan itu tertawa gembira. Roti itu pun dimakannya.

Tiba-tiba aku teringat kue-kue ku. Aku meliriknya cepat dan mengambil sebagian. Dengan spontan aku membuka kaca, bukan beberapa senti, tapi membuka seluruhnya. Aku menjulurkan kepalaku keluar tanpa menghiraukan hal-hal buruk yang mungkin kudapatkan.

"Kalian mau kue?", teriakku seraya menyodorkan kotak kue pada mereka.

Remaja laki-laki itu mendekatiku dan tersenyum sopan. "Terima kasih ya, mbak".

"Itu ibu... Bukan, mbak", protes bocah perempuan itu.

"Eh iya, makasih bu", ralatnya.

Aku tersenyum dan menutup kaca mobil. Kali ini kulihat tak ada ajang perebutan, mereka mengambilnya dengan berurutan.

"Harta karunmu berpindah", kata Nina.

"Biar. Aku sudah mengantongi harta karun baru dikepalaku".

"Harta macam apa?"

"Harta yang melimpah dua kali lipat dari hartaku sebelumnya. Dua kebahagiaan masa muda yang tinggal dikepala".

"Aku tak mengerti", tukas Nina.

"Besok sore datanglah ke beranda. Kau akan melihatku bersama secangkir teh hijauku dalam cangkir berbunga, asap rokok putihku yang berkepul ke udara dan deraian tawa yang ada dikepala. Deraian tawa milikku bersama teman kecilku dibawah bayang layang-layang dan juga derai tawa anak-anak jalanan itu diatas aspal yang berdebu. Derai tawa yang akan aku simpan dalam kenangan kue harta karunku."

Nina terdiam. Lampu lalu lintas sudah berganti hijau saat kudapati Nina turun dan menghampiri remaja-remaja tersebut.

"Nina, kita harus pergi", teriakku.

"Pulanglah tanpa aku. Aku sedang cemburu. Seharusnya dulu tak kubuat sebuah keputusan dungu tentang mengakhiri hidupku agar hari ini bisa kumiliki harta karunku sendiri".

Aku pun berlalu. Dari spion mobil masih sempat kulihat Nina bersama para remaja. Nina sibuk menjaring deretan derai tawa mereka dengan baju tipis ditubuhnya. Mungkin Nina akan membawanya serta sebelum corong mesjid meneriakan tentang subuh yang hempir tiba, menyimpannya dan mengenangnya bersamaku di beranda saat senja.

*Aku, Nina, para remaja... Diatas aspal musim panas yang mengganas, diantara mesin yang menderu dan kantuk yang mendera*

Rapor bapak


Tiga pasang sepatu tergeletak didepan teras. Aku mengintip melalui jendela. Diatas meja tergelar empat air bening dalam gelas dengan isi yang hampir tandas. Disudut ruang tamu sempit itu bapak sibuk mendengarkan tamu-tamu. Kulihat daun telinganya jadi parabola seperti dirumah-rumah orang kaya. Keduanya melebar, menangkap transmisi dalam komunikasi yang berusaha ia fahami. Sesekali ia mengangguk lalu tertunduk. Belum pernah kulihat bapak seserius itu. Ah, aku tak mengerti.

D
ua lembar kertas mampir keatas meja. Yang satu mampir ke tangan bapak dan ditanda tangani. Yang satu masuk ke tas bapak dan disimpan rapi. Itu kertas apa? Aku bertanya-tanya dalam hati. Ah, aku masih tak mengerti.

Ibu muncul dari kebun tetangga. Aku menariknya dengan tiba-tiba.

"Bu, itu polisi?", tanyaku.

"Sekuriti", ujar ibu.

"Bapak nekat lagi?". Aku mulai khawatir.

Ibu menggeleng. "Bapak akan digaji".

"Pencuri digaji?"

"Bapak dijadikan sekuriti, agar mereka tak lagi khawatir tentang malam sepi. Agar pak haji tak kehilangan ayam jagonya lagi, agar warga berhenti bertanya-tanya tentang harta benda yang raib di dini hari, agar bapak mengerti bahwa dengan gaji tak perlu lagi menjadikan sulit pangan sebagai alasan basi untuk mencuri.

Aku melirik tiga pasang sepatu. Bapak akan mengenakan sepatu seperti itu nanti, lengkap dengan seragam yang tersetrika rapi. Aku tak mengira nasib bapak akan berubah secepat ini. Ah, aku masih berusaha mengerti!

Ibu melirik kedalam lewat jendela sambil berbisik padaku, "Mereka sudah lelah menasehati, mereka lebih senang mempensiunkan bapak dari jabatan pencuri".

Aku termangu. Bulan depan bapak akan bergaji. Bulan depan akan ada lauk dan nasi disetiap hari. Halal! Bukan hasil caci maki. Ah, aku bersyukur pada Illahi.

*Pagi menjelang akhir pekan kala mata ini sulit dipicingkan*

Aku, Saya Yang Nyata



"Mereka bilang kamu orang aneh", kata Nina.

"Bukankah lebih aneh bila mereka terlalu menyibukkan diri dan bergunjing tentang perbedaan dan keunikan saya tanpa mau tahu siapa diri saya selain dari apa yang terlihat diluar saja?"

"Mereka juga menyebut-nyebut tentang psikopat", celotehnya

"Hanya karena saya terlalu menikmati keadaan emosional secara mendalam dan sulit mengadaptasikan dengan hal-hal yang umumnya menjadi aturan bersikap dalam idealisme kehidupan? Bila demikian, biarkan saya menjadi apa yang seperti mereka pikirkan.

Nina memandang saya. "Tubuhmu serupa kaca. Dengan bayangan saya didalamnya". Lalu ia duduk disamping saya. Menanti pagi yang mulai merambah hari.

*Pagi emosional, saat bom nuklir (sangat) dibutuhkan untuk jatuh diatas tumpukan opini-opini dangkal*