Oktober 22, 2012

Teh. Nikmatku, racunmu

"Nin, merapatlah kesudut itu bersamaku. Sore berawan membuatku miskin kawan", ajakku.

"Aku jenuh melihat jejakmu hanya berkutat di ini dan itu", jawabnya. Lebih mirip sebuah serangan balik ketimbang jawaban seorang kawan baik.

"Apakah kamu tersadar bahwa kata-kata yang kamu lempar adalah penegasan tentang hidupku yang tak berputar?"

"Ya. Kamu gentar untuk berputar".

"Siapa bilang hidupku tak berputar? Hidupku selalu berputar. Berputar antara dia, kamu, aku, kekasihnya dan seseorang diluar sana. Kita berputar antara harapan dan meja perjudian yang menawarkan ketidakpastian. Antara tempat berpijak dan ruang kemesraan. Kita berputar melintasi detik dan jam, diantara dingin hujan rintik dan hangat malam temaram".

"Kamu mabuk".

"Teh hijau takkan membuatku mabuk".

"Lalu untuk apa cangkir-cangkir teh itu bertumpuk?", tanya Nina.

"Aku baru saja meneropong tumpukan parasit. Serupa lintah berkepala ganda. Mereka ingin menempel vagina untuk mengeruk banyak perca. Perca bernama koin, cumbuan, tawa sementara, kewajiban materi yang berharap untuk ditalangi. Kesenangan kecil berkala yang dihisap diantara rentetan tawa dan mereka wakilkan sebagai suguhan bahagia", aku berbisik ditelinganya. Mesra. Semata-mata agar ia membuka hatinya. "Kamu tahu apa yang akan kulakukan dengan semua cangkir itu?"

Nina menggeleng.

"Aku akan menuangkan teh hijauku disana. Aku akan mengajak semua parasit untuk duduk dan minum teh bersama. Lalu aku akan bertelanjang dada dan menari dengan vagina terbuka hingga mereka tertawa-tawa diantara nikmat teh hangat. Hingga mereka tak mengira tentang banyak tetesan tuba didalamnya, juga sekarat yang akan segera tiba".

Nina terdiam. Ia menarik tumpukan cangkir itu. Membantuku untuk menatanya diatas meja kayu. Aku mencium pipinya. Sebuah kasih sayang untuk hantu yang selalu menempel dikepalaku.

*Maghrib diawal penghujan. Aku, Nina, dan semua wanita pemuja teh hijau serta rokok putih*

Lari


Pagi sudah menggedor-gedor jendela. Perempuan muda sibuk membungkus sisa mimpi malamnya dalam selimut. Tas besar disambar, dompet kusam ia genggam. Detik sibuk menarik-narik kaki agar menyambangi ujung jalan sepi. Motor butut sudah menunggunya disudut.


Laki-laki muda bernafas lega. "Kukira tak kan sempat kududukan kau dibelakang punggungku. Hampir aku mati dimakan jawaban tak pasti".


Perempuan muda menjawab pelan. "Aku sudah membeli pasti dari waktu yang semalam ku sembelih. Darahnya aku sapu dengan selimutku lalu kugantung diatas atap mimpi yang terapung".


"Kau bawa serta semua dalam selimutmu itu?", tunjuk laki-laki itu.


Perempuan mengangguk. "Aku akan menyimpannya hingga ujung kala. Terkecuali bila kau putuskan untuk mendua, aku ingin menyulutnya dan membawa serta kau didalamnya".


Ia tempelkan bokongnya diatas jok tua. Motor butut berjalan pelan diatas bebatuan. Menuju desa yang bersedia meminjamkan seorang penghulu sebelum mereka mati terburu.


*Dara dan Bagus, sepasang suara yang tinggal didalam kepala*