Juli 10, 2019

Perempuan



Saya hampir bingung ketika bapak kerap mengatakan bahwa saya bukanlah perempuan. Ibu yang jarang bicara pun akhirnya ikut mendengungkan sebutan "bukan perempuan" pada saya. Waktu itu saya sangat ngotot bahwa saya adalah perempuan. Tapi mereka bilang, orang yang duduk dengan kaki mengangkang bukanlah perempuan. Saya tetap ngotot pada ayah yang rajin memberi ceramah. Namun ayah tetap menyebut saya bukan perempuan. Saya pun dimakan amarah. Boneka adik  saya tendang hingga badan boneka menjadi tak berkepala. Mental ke halaman tetangga yang kemarin baru kaya. Adik menjerit-jerit ketakutan melihat para anak anjing datang memperebutkan. Bapak murka. Saya ditempelengnya. Lagi-lagi saya mendengar ayah berteriak bahwa saya bukan perempuan sebelum akhirnya saya menghilang di kejauhan. 

Ibu tetaplah ibu. Bagaimanapun ia tetap menyayangi buah hatinya. Saya pulang setelah seminggu minggat ke rumah uwak. Ibu menangis melihat saya pulang karena mengira saya disantap binatang jalang. Ibu memandikan dan menyisir rambut saya dengan haru. Berkali-kali ia lakukan itu untuk mengisi kerinduannya sejak berhari-hari lalu. Selesai menyantap makanan lezat yang dimasakkan ibu, saya berlari keluar rumah dengan langkah memburu. Ada suara sekelompok kawan yang berceloteh tentang layang-layang. Padi telah dituai dan kami akan bebas bermain di pematang. Saya mengikuti mereka hingga senja mulai tiba. Dillah, anak si tetangga baru kaya, menarik layang-layang miliknya untuk dibawa serta. Saya merampas balik layang-layang itu karena masih asyik mengudara di bawah langit senja yang mulai kehilangan birunya. Keributan pun dimulai. Dillah menjambak rambut saya yang kemudian saya balas dengan pukulan membabi buta. Saya pulang dengan pipi membiru karena Dillah sempat membalas satu tinju. Dillah sudah lari dengan tangis lebih dulu, mengaduhkan bibirnya yang pecah terkena batu. 

Di pintu rumah Ayah telah menanti. Saya bersiap dengan apa yang akan terjadi. Suara adzan Maghrib dan kata-kata dari mulut ayah berlomba memasuki dalam telinga saya. Tak banyak yang saya ingat kecuali sakit dari ujung rotan yang kembali mendarat di kaki. Juga kemarahan serta sebutan tentang saya bukan perempuan. Teriakan ibu tentang maghrib yang telah tiba membuat ayah menghentikan pukulannya. Saya kembali kabur ke rumah uwak.

Waktu terasa terpenggal-penggal dalam hidup saya. Setiap penggalannya terus berima tentang tanya di kepala. Penggalan kemarahan ayah. Teriakan ibu. Cemoohan kawan yang pernah mengaji bersama di surau dulu. Waktu menjejak dengan cepatnya. Kawan-kawan sudah remaja. Mereka mulai mengubah cara berpakaiannya. Tak ada celana pendek lagi seperti yang mereka kenakan saat mencari udang di pinggir kali. Juga tak lagi bertelanjang dada saat berenang bersama-sama. Ibu mendandani saya seperti mereka. Mengenakan rok panjang yang ia wariskan untuk saya. Kata ibu, dengan itu tak lagi ada yang berani menyebut saya bukan perempuan. 

Ibu membawa saya ke undangan kepala desa dan membiarkan saya bermain di sana. Lama ibu beserta tamu mencari-cari saya ketika waktu pulang tiba. Akhirnya ia menghujani saya dengan makiannya kala mendapati saya sedang duduk seenaknya di ujung desa. Menonton adu ayam jago bersama para lelaki dewasa. Rok panjang ibu menjadi kotor karena digunakan duduk bersila. Ibu menarik rambut saya. Para lelaki dewasa tertawa-tawa. Kata mereka, saya bukan perempuan.

Saya menyesal tak pernah mencatat berapa banyak kata-kata tentang saya bukan perempuan yang telah terlontar dari mulut penghuni desa. Abah Haji yang meneriaki saya karena kerap memergoki saya nekat memanjat pohon mangga di kebunnya. Juga bu haji yang menggerutu setiap melihat saya menenteng ayam jago untuk diadu di ujung desa. Dillah, si anak orang mendadak kaya itu telah lama tak bertegur sapa sejak bertahun-tahun lalu. Bekas luka jahitan di sudut bibirnya masih terlihat nyata. Ia selalu membuang ludah setiap kali melihat wajah saya. Saya tahu adanya, dia pasti membenci saya. 

Saya masuk ke dalam kamar ibu. Mencari-cari gunting kain dan berdiri di depan lemari kayu. Kaca memantulkan tubuh saya yang semakin meninggi dan membesar. Saya menarik rambut dengan kasar. Mulut gunting sudah menganga lebar. Siap menebas rambut panjang saya yang tebal dan mekar. Saya malas dipanggil bukan perempuan. Padahal rambut saya panjang. Padahal dada saya sudah berputing. Padahal saya sudah pernah merasa merana saat haid pertama tiba, menyelipkan pembalut di selangkangan hingga saya risih saat berjalan. Saya tertegun dalam dilema. Saya lelah bersuara seorang diri saja. Saya perempuan! Saya perempuan! Dan hanya satu kalimat sama yang tetap mereka katakan sebagai bantahan. Bahwa saya bukan perempuan. Saya menangis lalu berlari dari gunting dan kaca. Saya meremasi rambut. Cuma itu yang tersisa untuk menyadari bahwa perempuan ada dalam diri saya. 

Tapi malam itu saya dirasuki setan. Saya kembali mencari gunting. Belum lama tadi saya melihat Dillah pulang ke rumah. Dengan seorang perempuan muda berbaju merah. Mereka duduk di pojok teras yang temaram. Dari balik dinding pagar saya mengintipnya. Mereka bercumbu hingga hampir telanjang. Penisnya mulai terlihat di bawah cahaya seadanya. Saya pun membawa gunting. Menaiki pagar dan memburu ke arah Dillah dengan sangar. Dillah berlari ketakutan karena penisnya hampir saya gunting untuk saya tempelkan di selangkangan. Malam itu saya memutuskan untuk memenuhi anggapan semua orang bahwa saya bukan perempuan. Desa pun geger. Saya mengamuk saat warga berlarian memasuki halaman. Batu berhamburan menerobos kaca. Meja kursi sudah tak lagi tertata rapi. Kapala desa hampir saja kehilangan nyawa ketika merebut gunting saya. Saya pun kabur dari sana. Kabur ke rumah uwak seperti biasa.

Entah sudah berapa lama saya tak pernah kembali ke desa. Saya enggan menerima perkataan bukan perempuan. Saya banyak diam  di dalam rumah uwak. Namun, di suatu senja saya memberanikan diri untuk pulang. Saya merasa sakit dan rindu ibu. Terhuyung-huyung saya mendatangi pintu sebelum saya dengar tangis rindu ibu. Ia membawa saya ke kamar di mana saya pernah berada. Ia baringkan saya di sana. Ibu tak bisa menghentikan air matanya. Sakit saya terasa menjadi-jadi lalu terdengar banyak langkah orang menghampiri. Mereka sibuk mengelilingi saya. Saya tak dapat lagi berpikir dalam sakit itu. Hanya suara ibu terdengar sering memenuhi telinga saya. Memerintah saya agar bernapas seirama dengan napasnya. Kepala saya berputar saat tangisan pecah terdengar. Saya terkulai. Kesadaran saya hampir tiada saat ibu mengusap-usap kepala saya. Ia menciumi kening saya. Sakit saya mulai mereda, tinggal sedikit perih di bawah sana. 

Entah berapa lama saya mendengar banyak bisik-bisik suara hingga akhirnya ibu membawa mahluk mungil ke hadapan saya. Itu bayi. Tiba-tiba saya ingat bahwa itu bayi saya. Anak saya. Anak saya dengan lelaki yang saya sebut uwak, duda sebatang kara yang kerap saya temui di tempat sabung ayam sejak dulu kala. Anak yang akhirnya ada sejak saya dalam pelarian dan mengalihkan emosi ke atas ranjang untuk bermesraan. 

Sejak bayi itu ada, saya mulai mendengar bahwa saya disebut-sebut sebagai perempuan. Perempuan sundal yang miskin moral. 

Tak mengapa. Toh, akhirnya mereka bisa menyebut saya sebagai perempuan.