Juli 10, 2019

Perempuan



Saya hampir bingung ketika bapak kerap mengatakan bahwa saya bukanlah perempuan. Ibu yang jarang bicara pun akhirnya ikut mendengungkan sebutan "bukan perempuan" pada saya. Waktu itu saya sangat ngotot bahwa saya adalah perempuan. Tapi mereka bilang, orang yang duduk dengan kaki mengangkang bukanlah perempuan. Saya tetap ngotot pada ayah yang rajin memberi ceramah. Namun ayah tetap menyebut saya bukan perempuan. Saya pun dimakan amarah. Boneka adik  saya tendang hingga badan boneka menjadi tak berkepala. Mental ke halaman tetangga yang kemarin baru kaya. Adik menjerit-jerit ketakutan melihat para anak anjing datang memperebutkan. Bapak murka. Saya ditempelengnya. Lagi-lagi saya mendengar ayah berteriak bahwa saya bukan perempuan sebelum akhirnya saya menghilang di kejauhan. 

Ibu tetaplah ibu. Bagaimanapun ia tetap menyayangi buah hatinya. Saya pulang setelah seminggu minggat ke rumah uwak. Ibu menangis melihat saya pulang karena mengira saya disantap binatang jalang. Ibu memandikan dan menyisir rambut saya dengan haru. Berkali-kali ia lakukan itu untuk mengisi kerinduannya sejak berhari-hari lalu. Selesai menyantap makanan lezat yang dimasakkan ibu, saya berlari keluar rumah dengan langkah memburu. Ada suara sekelompok kawan yang berceloteh tentang layang-layang. Padi telah dituai dan kami akan bebas bermain di pematang. Saya mengikuti mereka hingga senja mulai tiba. Dillah, anak si tetangga baru kaya, menarik layang-layang miliknya untuk dibawa serta. Saya merampas balik layang-layang itu karena masih asyik mengudara di bawah langit senja yang mulai kehilangan birunya. Keributan pun dimulai. Dillah menjambak rambut saya yang kemudian saya balas dengan pukulan membabi buta. Saya pulang dengan pipi membiru karena Dillah sempat membalas satu tinju. Dillah sudah lari dengan tangis lebih dulu, mengaduhkan bibirnya yang pecah terkena batu. 

Di pintu rumah Ayah telah menanti. Saya bersiap dengan apa yang akan terjadi. Suara adzan Maghrib dan kata-kata dari mulut ayah berlomba memasuki dalam telinga saya. Tak banyak yang saya ingat kecuali sakit dari ujung rotan yang kembali mendarat di kaki. Juga kemarahan serta sebutan tentang saya bukan perempuan. Teriakan ibu tentang maghrib yang telah tiba membuat ayah menghentikan pukulannya. Saya kembali kabur ke rumah uwak.

Waktu terasa terpenggal-penggal dalam hidup saya. Setiap penggalannya terus berima tentang tanya di kepala. Penggalan kemarahan ayah. Teriakan ibu. Cemoohan kawan yang pernah mengaji bersama di surau dulu. Waktu menjejak dengan cepatnya. Kawan-kawan sudah remaja. Mereka mulai mengubah cara berpakaiannya. Tak ada celana pendek lagi seperti yang mereka kenakan saat mencari udang di pinggir kali. Juga tak lagi bertelanjang dada saat berenang bersama-sama. Ibu mendandani saya seperti mereka. Mengenakan rok panjang yang ia wariskan untuk saya. Kata ibu, dengan itu tak lagi ada yang berani menyebut saya bukan perempuan. 

Ibu membawa saya ke undangan kepala desa dan membiarkan saya bermain di sana. Lama ibu beserta tamu mencari-cari saya ketika waktu pulang tiba. Akhirnya ia menghujani saya dengan makiannya kala mendapati saya sedang duduk seenaknya di ujung desa. Menonton adu ayam jago bersama para lelaki dewasa. Rok panjang ibu menjadi kotor karena digunakan duduk bersila. Ibu menarik rambut saya. Para lelaki dewasa tertawa-tawa. Kata mereka, saya bukan perempuan.

Saya menyesal tak pernah mencatat berapa banyak kata-kata tentang saya bukan perempuan yang telah terlontar dari mulut penghuni desa. Abah Haji yang meneriaki saya karena kerap memergoki saya nekat memanjat pohon mangga di kebunnya. Juga bu haji yang menggerutu setiap melihat saya menenteng ayam jago untuk diadu di ujung desa. Dillah, si anak orang mendadak kaya itu telah lama tak bertegur sapa sejak bertahun-tahun lalu. Bekas luka jahitan di sudut bibirnya masih terlihat nyata. Ia selalu membuang ludah setiap kali melihat wajah saya. Saya tahu adanya, dia pasti membenci saya. 

Saya masuk ke dalam kamar ibu. Mencari-cari gunting kain dan berdiri di depan lemari kayu. Kaca memantulkan tubuh saya yang semakin meninggi dan membesar. Saya menarik rambut dengan kasar. Mulut gunting sudah menganga lebar. Siap menebas rambut panjang saya yang tebal dan mekar. Saya malas dipanggil bukan perempuan. Padahal rambut saya panjang. Padahal dada saya sudah berputing. Padahal saya sudah pernah merasa merana saat haid pertama tiba, menyelipkan pembalut di selangkangan hingga saya risih saat berjalan. Saya tertegun dalam dilema. Saya lelah bersuara seorang diri saja. Saya perempuan! Saya perempuan! Dan hanya satu kalimat sama yang tetap mereka katakan sebagai bantahan. Bahwa saya bukan perempuan. Saya menangis lalu berlari dari gunting dan kaca. Saya meremasi rambut. Cuma itu yang tersisa untuk menyadari bahwa perempuan ada dalam diri saya. 

Tapi malam itu saya dirasuki setan. Saya kembali mencari gunting. Belum lama tadi saya melihat Dillah pulang ke rumah. Dengan seorang perempuan muda berbaju merah. Mereka duduk di pojok teras yang temaram. Dari balik dinding pagar saya mengintipnya. Mereka bercumbu hingga hampir telanjang. Penisnya mulai terlihat di bawah cahaya seadanya. Saya pun membawa gunting. Menaiki pagar dan memburu ke arah Dillah dengan sangar. Dillah berlari ketakutan karena penisnya hampir saya gunting untuk saya tempelkan di selangkangan. Malam itu saya memutuskan untuk memenuhi anggapan semua orang bahwa saya bukan perempuan. Desa pun geger. Saya mengamuk saat warga berlarian memasuki halaman. Batu berhamburan menerobos kaca. Meja kursi sudah tak lagi tertata rapi. Kapala desa hampir saja kehilangan nyawa ketika merebut gunting saya. Saya pun kabur dari sana. Kabur ke rumah uwak seperti biasa.

Entah sudah berapa lama saya tak pernah kembali ke desa. Saya enggan menerima perkataan bukan perempuan. Saya banyak diam  di dalam rumah uwak. Namun, di suatu senja saya memberanikan diri untuk pulang. Saya merasa sakit dan rindu ibu. Terhuyung-huyung saya mendatangi pintu sebelum saya dengar tangis rindu ibu. Ia membawa saya ke kamar di mana saya pernah berada. Ia baringkan saya di sana. Ibu tak bisa menghentikan air matanya. Sakit saya terasa menjadi-jadi lalu terdengar banyak langkah orang menghampiri. Mereka sibuk mengelilingi saya. Saya tak dapat lagi berpikir dalam sakit itu. Hanya suara ibu terdengar sering memenuhi telinga saya. Memerintah saya agar bernapas seirama dengan napasnya. Kepala saya berputar saat tangisan pecah terdengar. Saya terkulai. Kesadaran saya hampir tiada saat ibu mengusap-usap kepala saya. Ia menciumi kening saya. Sakit saya mulai mereda, tinggal sedikit perih di bawah sana. 

Entah berapa lama saya mendengar banyak bisik-bisik suara hingga akhirnya ibu membawa mahluk mungil ke hadapan saya. Itu bayi. Tiba-tiba saya ingat bahwa itu bayi saya. Anak saya. Anak saya dengan lelaki yang saya sebut uwak, duda sebatang kara yang kerap saya temui di tempat sabung ayam sejak dulu kala. Anak yang akhirnya ada sejak saya dalam pelarian dan mengalihkan emosi ke atas ranjang untuk bermesraan. 

Sejak bayi itu ada, saya mulai mendengar bahwa saya disebut-sebut sebagai perempuan. Perempuan sundal yang miskin moral. 

Tak mengapa. Toh, akhirnya mereka bisa menyebut saya sebagai perempuan.

April 16, 2015

Subuh Dingin

Di jalan yang sama. Subuh memanggil. 

Perempuan menor terkantuk dibalik setir, menuju pulang pada pasangan yang terus khawatir. Ibu bertubuh tambun menggelar tikar, bakulan paginya segera siap tergelar. Lelaki renta berpacu dengan waktu, adzan sudah sejak tadi berlalu namun langkah kaki tuanya belum lagi mencapai pijakan tempat berwudhu. Lelaki muda berlari tergesa, mendekap kotak kayu dari depan mushola. Isi kepalanya mengesampingkan dosa karena beras tak bisa ditanak dalam hayalnya saja, jasa dokter tak bisa digantikan dengan rasa terima kasih saja, dan hutang tak mampu membeku dalam ketetapan jumlahnya.

Karena itulah kiranya...
 

Di gubuk tripleknya nanti, ia akan menyuruh istri tercinta menghitung isinya. Agar bisa menyisihkan sedikit biaya untuk mertua renta yang rajin mengunjungi mushola, membayar hutang makan pada si Ibu bertubuh tambun yang selalu bersiap di pagi buta, dan pergi ke rumah si Perempuan menor untuk mengangsur jumlah riba.



Oktober 22, 2012

Teh. Nikmatku, racunmu

"Nin, merapatlah kesudut itu bersamaku. Sore berawan membuatku miskin kawan", ajakku.

"Aku jenuh melihat jejakmu hanya berkutat di ini dan itu", jawabnya. Lebih mirip sebuah serangan balik ketimbang jawaban seorang kawan baik.

"Apakah kamu tersadar bahwa kata-kata yang kamu lempar adalah penegasan tentang hidupku yang tak berputar?"

"Ya. Kamu gentar untuk berputar".

"Siapa bilang hidupku tak berputar? Hidupku selalu berputar. Berputar antara dia, kamu, aku, kekasihnya dan seseorang diluar sana. Kita berputar antara harapan dan meja perjudian yang menawarkan ketidakpastian. Antara tempat berpijak dan ruang kemesraan. Kita berputar melintasi detik dan jam, diantara dingin hujan rintik dan hangat malam temaram".

"Kamu mabuk".

"Teh hijau takkan membuatku mabuk".

"Lalu untuk apa cangkir-cangkir teh itu bertumpuk?", tanya Nina.

"Aku baru saja meneropong tumpukan parasit. Serupa lintah berkepala ganda. Mereka ingin menempel vagina untuk mengeruk banyak perca. Perca bernama koin, cumbuan, tawa sementara, kewajiban materi yang berharap untuk ditalangi. Kesenangan kecil berkala yang dihisap diantara rentetan tawa dan mereka wakilkan sebagai suguhan bahagia", aku berbisik ditelinganya. Mesra. Semata-mata agar ia membuka hatinya. "Kamu tahu apa yang akan kulakukan dengan semua cangkir itu?"

Nina menggeleng.

"Aku akan menuangkan teh hijauku disana. Aku akan mengajak semua parasit untuk duduk dan minum teh bersama. Lalu aku akan bertelanjang dada dan menari dengan vagina terbuka hingga mereka tertawa-tawa diantara nikmat teh hangat. Hingga mereka tak mengira tentang banyak tetesan tuba didalamnya, juga sekarat yang akan segera tiba".

Nina terdiam. Ia menarik tumpukan cangkir itu. Membantuku untuk menatanya diatas meja kayu. Aku mencium pipinya. Sebuah kasih sayang untuk hantu yang selalu menempel dikepalaku.

*Maghrib diawal penghujan. Aku, Nina, dan semua wanita pemuja teh hijau serta rokok putih*

Lari


Pagi sudah menggedor-gedor jendela. Perempuan muda sibuk membungkus sisa mimpi malamnya dalam selimut. Tas besar disambar, dompet kusam ia genggam. Detik sibuk menarik-narik kaki agar menyambangi ujung jalan sepi. Motor butut sudah menunggunya disudut.


Laki-laki muda bernafas lega. "Kukira tak kan sempat kududukan kau dibelakang punggungku. Hampir aku mati dimakan jawaban tak pasti".


Perempuan muda menjawab pelan. "Aku sudah membeli pasti dari waktu yang semalam ku sembelih. Darahnya aku sapu dengan selimutku lalu kugantung diatas atap mimpi yang terapung".


"Kau bawa serta semua dalam selimutmu itu?", tunjuk laki-laki itu.


Perempuan mengangguk. "Aku akan menyimpannya hingga ujung kala. Terkecuali bila kau putuskan untuk mendua, aku ingin menyulutnya dan membawa serta kau didalamnya".


Ia tempelkan bokongnya diatas jok tua. Motor butut berjalan pelan diatas bebatuan. Menuju desa yang bersedia meminjamkan seorang penghulu sebelum mereka mati terburu.


*Dara dan Bagus, sepasang suara yang tinggal didalam kepala*

September 20, 2012

Asbak




Disudut yang sama. Duduk bersama Nina dan dua cangkir teh hijau kental tanpa gula.

"Kamu sakit, wahai wanita serupa langsat?", tanya saya seraya meneliti sinar matanya yang redup.

Nina meraih ponselnya. "Bila pun saya mengiyakan, tolong berikan saya nomor tabib kelas wahid".

"Saya tak menahu tentang itu. Apa tak sebaiknya kita bicara?"

Nina memandang saya. Lekat. Ia berusaha mengail rasa perca
ya dari mata saya. Beberapa saat kemudian bibir indahnya membuka suara...

"Detik ini saya sadari saya masih harus jadi pasien. Masih ada luka yang kembali menganga. Usia berlanjut tanpa seorangpun bisa jadi penyembuh. Bawakan saya tabib dengan obat mujarab, dukun tampan yang enggan mengeruk kesenangan, dokter pandai minus rayuan.

Saya lelah menutup malam dengan setumpuk dendam yang acap kali kembali. Ingin saya memangsa pria dengan cara yang paling manis, dengan impian tinggi, dengan segala kenikmatan yang bisa saya beri, tanpa perlu tahu bahwa esok hatinya akan teriris.

Saya letih mengikuti langkah serigala-serigala. Saya cuma kucing hilang dan mencari rumah berisi hati tempat berpulang. Saya ingin ditiduri orang yang saya cintai tanpa membayangkan sebuah belati. Saya ingin sembuh. Lelah menjadi pasien.

Bawakan saya penyembuh, sang penjaga hati diumur yang tersisa agar saya tahu untuk apa melanjutkan tarikan nafas tersisa..."

Saya menarik cangkir teh. Menyeruputnya.

"Kamu tentu tahu rasa teh ini", kata saya.

"Pahit", jawabnya cepat.

"Tapi nikmat".

Nina mengeryitkan dahinya. "Apa yang hendak kamu sampaikan, wahai wanita sawo matang?"

"Dunia ini dipenuhi pelacur. Manusia-manusia yang melacurkan dan melucahkan jiwa dan pikiran mereka untuk berbagai titik kenikmatan. Nikmat yang pahit. Dan dunia ini dipenuhi penikmat, macam kamu, saya, mereka dan mereka yang lain. Macam si tabib, si dokter, si dukun, si serigala dan si kucing".

Saya meraih bungkus rokok putih ditas saya. Menyodorkannya pada Nina. Sore ini akan kami habiskan untuk membakar sebungkus nikmat.

Tangis



Pagi bergema oleh pekik remaja. Diatas aspal yang masih dingin ia mengejar perwujudan mimpi yang baru saja dibawa lari. Nafasnya tertahan, ia berhenti di mesjid ujung jalan. Terduduk, lemas dalam keadaan setengah mengantuk. Asanya putus, sementara nilai perhitungan kewajiban belum selesai terurus.

Ia mengacak rambutnya berkali-kali dan menangis. Lama ia tercenung diatas teras mesjid. Sebuah kesadaran mulai menggerogoti otaknya.

"Kehilangan benda berharga tak harus membuat
batin miskin. Yang ku perlu hanya keluar dari kebencian yang mulai mengakar. Kubangun tumpukan ikhlas diatas ramadhan kemarau ini. Ramadhan yang selalu kukecilkan nilainya ditahun-tahun sebelumnya. Semoga apa yang terlepas dariku hari ini bisa membahagiakan diri serta keluargamu di hari fitri nanti".

Ia melenggang pulang dengan lemas, teringat seandainya ia menjalankan apa yang semalam telah ia gagas. Seandainya ia tetap i'tikaf dan tidak pulang, seandainya tawaran kawan-kawan tuk berkendara tak menjadi penghalang.

*Subuh yang gaduh. Saat sepasang kaki kecil berlari mengejar motor cicilan yang tercuri*

Waktu, Setetes Madu Yang Mengandung Racun


"Abang mendua. 7 tahunku terenggut dengan hina", teriak perempuan didepan Muti.

"Tak ada lah abang bermaksud menghina. Ini semua serangkai khilaf saja", laki-laki didepan Muti tak berhenti membela diri.


"Kau sebut khilaf cuma tuk mengemis ma'af karena kau pikir hati ini pun tak akan kikir", balas perempuan itu lagi. Kali ini dengan terisak.


"Abang tak bisa bersuara banyak bila kau terus terisak".


"Aku terisak karena sesak".


"Abang tak berbuat hal-hal yang khianat. Abang akan mengatakan atas nama Tuhan"


Beberapa saat mereka diam. Tangis perempuan itu reda. Ia berlari mendekap sang lelaki. Nama Tuhan telah menyelamatkan sebuah keributan. Laki-laki itu menyuruh perempuan itu pulang agar gundahnya hilang. Sebuah janji untuk menyusulnya setelah ia pergi akhirnya disepakati. Laki-laki itu membereskan pekerjaannya. Melintasi Muti yang berdiri sendiri dan mematung dengan kesedihan yang terus bergulung. Airmatanya mulai berderai.


Malam itu pun lengkap. Ada wanita berstatus istri yang terkhianati namun terus dikelabuhi, ada pria berstatus suami yang terus membela diri dan menyanjung kepalsuan diatas nama Tuhan, juga ada wanita bernama Muti yang baru memutuskan pilihannya menjelang malam kemarin. Pilihan tentang mengakhiri hidupnya dan menjadi hantu penasaran selepas senja, ketimbang mengakhiri hidup seorang laki-laki dan menjadi pesakitan dikandang besi.

Do'a


 Photo: "Alhamdulillah. Masa yang dikatakan sebagai sebuah masa gemilang dari sebuah perjuangan panjang itu pun datang untuk kamu, Rumi", ujar bunda dengan bangga.

Rumi hanya terdiam. Perkataan bunda barusan tak membuatnya berpaling dari bacaan.

"Bunda bahagia. Bunda bangga. Tak adakah bangga yang turut dihatimu?", tanya bunda.

"Diamku adalah besarnya banggaku. Seperti juga ketika dulu beratnya deritaku tinggal dalam diamku. Miskin tanpa jeda", jawab Rumi. 

"Mengapa kamu begitu ketus bertandas tentang miskin, anakku?"

"Bunda mau tahu kenapa?", Rumi menurunkan bacaannya. Bukan sekali atau dua aku mengeluhkan tentang pilihan, tentang kesempatan menikmati masa muda yang menggoda tanpa harus melulu menyiksa tubuhnya dengan kerja. Duniaku hanya terbatas buku dan membantu pekerjaan bunda. Lelahku hanya terbayar dengan wejangan bunda tentang tak menumpuk keluh diantara peluh dan selalu berucap hamdalah atas nikmat Allah. Bunda tak pernah tahu bahwa aku bertempur dengan rasa malu karena aku tak banyak tahu tentang masa mudaku yang terseret berlalu. Bunda lebih memilih membesarkan aku dalam keadaan tanpa pilihan ketimbang kembali kerumah besar yang seharusnya menjadi milikku, milik saudagar kaya yang bisa kupanggil ayah hingga umurku menua. Kini ketika perjuanganku telah sampai pada cita-cita, aku sungguh tidak tahu bahagia itu seperti apa karena miskin pernah merenggutnya. Bila ini dikatakan sebuah keberhasilan maka ini adalah keberhasilan sebuah do'a setelah duduk berlama-lama, jauh lebih lama ketimbang sepotong do'a milik bunda sebelum akhirnya  kembali sibuk menekuni urusan dunia".

"Ya Allah, Rumi... ", bunda terisak. Dadanya sesak. "Ma'afkan bunda yang telah menggelar begitu banyak penderitaan didepan matamu, nak".

Rumi diam bergeming. 

Bunda mengelus kepala Rumi dengan airmata berlinang. Tangan kasarnya menyentuh lembut rambut buah hati satu-satunya. "Pertama, bunda lebih memilih membiarkanmu bertempur dengan rasa malu tentang tak mengetahui hal ini dan itu karena bunda tak ingin membiarkanmu menggilai masa mudamu untuk menggandrungi hal-hal tabu bersama sekumpulan orang yang kamu sebut kawan. Kedua, bunda membesarkanmu bukan tanpa pilihan. Saudagar yang ingin terus kau sebut sebagai ayah itu hampir saja menjual kita untuk menebus hutang judi yang terus menggerogoti, hingga akhirnya bunda memutuskan untuk membawamu pergi sampai kesini. Bila perjuanganku untuk menyelamatkanmu dulu kamu sebut sebagai sebuah kekeliruan, bunda memohon untuk dima'afkan. Ketiga, bunda memang selalu terburu-buru kembali menekuni urusan dunia hingga hanya mampu membuat sepotong do'a. Juragan Salim tempat kita bekerja telah memberikan rumah tua ini untuk tempat berteduh kita, telah mengambil banyak mantri untuk menyembuhkanmu saat wabah melanda dulu, dan membiarkan kita mengambil banyak hasil pangan untuk dinikmati saat kita kehabisan uang dipundi-pundi. Dan itu selalu membuat bunda tekun menjalani urusan dunia untuk membayar jasanya pada kita dan mentitahmu untuk selalu berucap hamdalah. Mungkin dudukku dalam do'a tak selama waktumu memohonkan do'a pada sang pencipta, tapi hanya satu yang selalu terucap dalam sepotong do'aku untukmu disela sujudku yang tergesa..."

"Apa itu bunda?", tanya Rumi yang mulai berlinang airmata.

"Bunda hanya inginkan terkabulnya semua do'a yang kamu panjatkan disetiap harinya", jawab bunda tersenyum.

Tangis Rumi pun pecah. Ia memeluk bunda. Bunda yang seumur hidupnya ia anggap hanya memberinya kesulitan saja. Dari mesjid desa beduk terdengar mulai ditabuh bertalu-talu. Suara takbir mulai memenuhi udara pagi. Bunda menyeka airmata anaknya dan menyuruh Rumi untuk segera mengambil mukenah, sholat Idul Fitri segera digelar. Mereka keluar dari rumah dan berjalan dengan rapat. Dan pagi itu pun menjadi hari yang fitri untuk sebuah nikmat bathin yang luar biasa. Bagi Rumi dan Bunda.
"Alhamdulillah. Masa yang dikatakan sebagai sebuah masa gemilang dari sebuah perjuangan panjang itu pun datang untuk kamu, Rumi", ujar bunda dengan bangga.

Rumi hanya terdiam. Perkataan bunda barusan tak membuatnya berpaling dari bacaan.

"Bunda bahagia. Bunda bangga. Tak adakah bangga yang turut dihatimu?", tanya bunda.

"Diamku adalah besarnya banggaku. Seperti juga ketika dulu beratnya deritaku tinggal dalam diamku. Miskin tanpa jeda", jawab Rumi.

"Mengapa kamu begitu ketus bertandas tentang miskin, anakku?"

"Bunda mau tahu kenapa?", Rumi menurunkan bacaannya. Bukan sekali atau dua aku mengeluhkan tentang pilihan, tentang kesempatan menikmati masa muda yang menggoda tanpa harus melulu menyiksa tubuhnya dengan kerja. Duniaku hanya terbatas buku dan membantu pekerjaan bunda. Lelahku hanya terbayar dengan wejangan bunda tentang tak menumpuk keluh diantara peluh dan selalu berucap hamdalah atas nikmat Allah. Bunda tak pernah tahu bahwa aku bertempur dengan rasa malu karena aku tak banyak tahu tentang masa mudaku yang terseret berlalu. Bunda lebih memilih membesarkan aku dalam keadaan tanpa pilihan ketimbang kembali kerumah besar yang seharusnya menjadi milikku, milik saudagar kaya yang bisa kupanggil ayah hingga umurku menua. Kini ketika perjuanganku telah sampai pada cita-cita, aku sungguh tidak tahu bahagia itu seperti apa karena miskin pernah merenggutnya. Bila ini dikatakan sebuah keberhasilan maka ini adalah keberhasilan sebuah do'a setelah duduk berlama-lama, jauh lebih lama ketimbang sepotong do'a milik bunda sebelum akhirnya kembali sibuk menekuni urusan dunia".

"Ya Allah, Rumi... ", bunda terisak. Dadanya sesak. "Ma'afkan bunda yang telah menggelar begitu banyak penderitaan didepan matamu, nak".

Rumi diam bergeming.

Bunda mengelus kepala Rumi dengan airmata berlinang. Tangan kasarnya menyentuh lembut rambut buah hati satu-satunya. "Pertama, bunda lebih memilih membiarkanmu bertempur dengan rasa malu tentang tak mengetahui hal ini dan itu karena bunda tak ingin membiarkanmu menggilai masa mudamu untuk menggandrungi hal-hal tabu bersama sekumpulan orang yang kamu sebut kawan. Kedua, bunda membesarkanmu bukan tanpa pilihan. Saudagar yang ingin terus kau sebut sebagai ayah itu hampir saja menjual kita untuk menebus hutang judi yang terus menggerogoti, hingga akhirnya bunda memutuskan untuk membawamu pergi sampai kesini. Bila perjuanganku untuk menyelamatkanmu dulu kamu sebut sebagai sebuah kekeliruan, bunda memohon untuk dima'afkan. Ketiga, bunda memang selalu terburu-buru kembali menekuni urusan dunia hingga hanya mampu membuat sepotong do'a. Juragan Salim tempat kita bekerja telah memberikan rumah tua ini untuk tempat berteduh kita, telah mengambil banyak mantri untuk menyembuhkanmu saat wabah melanda dulu, dan membiarkan kita mengambil banyak hasil pangan untuk dinikmati saat kita kehabisan uang dipundi-pundi. Dan itu selalu membuat bunda tekun menjalani urusan dunia untuk membayar jasanya pada kita dan mentitahmu untuk selalu berucap hamdalah. Mungkin dudukku dalam do'a tak selama waktumu memohonkan do'a pada sang pencipta, tapi hanya satu yang selalu terucap dalam sepotong do'aku untukmu disela sujudku yang tergesa..."

"Apa itu bunda?", tanya Rumi yang mulai berlinang airmata.

"Bunda hanya inginkan terkabulnya semua do'a yang kamu panjatkan disetiap harinya", jawab bunda tersenyum.

Tangis Rumi pun pecah. Ia memeluk bunda. Bunda yang seumur hidupnya ia anggap hanya memberinya kesulitan saja. Dari mesjid desa beduk terdengar mulai ditabuh bertalu-talu. Suara takbir mulai memenuhi udara pagi. Bunda menyeka airmata anaknya dan menyuruh Rumi untuk segera mengambil mukenah, sholat Idul Fitri segera digelar. Mereka keluar dari rumah dan berjalan dengan rapat. Dan pagi itu pun menjadi hari yang fitri untuk sebuah nikmat bathin yang luar biasa. Bagi Rumi dan Bunda.
 

Subuh, Penyerahan Yang Utuh


Tubuh yang menggigil adalah panggilan buatmu
Jarum jam mencolek-colek dada busungmu agar pulang
Lewat rute yang sama
Yang maghrib tadi kamu lewati bersama wangi cendana
Bersama rok pendek yang kamu sebut lintah karena lekat dan ketatnya
Bersama langkah sendal yang menggema saat berlalu didekat teras surau.

Kamu pulang tidak sempurna
Ah, BH-mu entah kemana
Dicuri laki-laki iseng
Laki-laki muda berkacamata yang haus belai
Yang menukar desahnya dengan lembaran rupiah
Yang mengganti nilai sungkan atas jilatan dengan janji sebuah perhiasan
Yang menghamburkan dukanya diranjang agar kamu memungutinya dan menukarnya dengan nikmat berjuta-juta
Dan BH-mu itu, entah dia bawa kemana
"Hendak kujadikan cinderamata", begitu kata si kacamata.

Kamu pulang berlari-lari
Berlomba dengan suara muadzin yang memecah subuh
Pagar bambu dihalaman menyapa pulangmu dengan acuh tak acuh
Mungkin sudah bosan menyapa datang dan pulangmu yang selalu lusuh
Kamu tak peduli
Kamu tergopoh-gopoh mengguyur tubuhmu
Mengguyur rambutmu
Kepala
Dada
Vagina
Paha
Hingga seluruh kakimu yang telah terjajah lidah si kacamata

Setelah itu kamu sambar mukenah
Berdiri dibelakang laki-laki yang sudah sedari tadi menanti
Kamu terdiam dalam khusyuk
Sesekali kamu dengar batuknya yang tidak bisa pensiun setelah berobat bertahun-tahun
Kanker, begitu kata dokter.

"Seminggu ini aku tidak membawa serta malu ku seperti kemarin dulu. Aku menumpuknya dihalaman belakang sebelum pergi. Toh menggondol malu dibelakang bokongku tak juga bisa membuat harga obat-obatmu dan susu anakku menjadi murah", katamu setelah salam pengakhiran selesai terucap. Air matamu mengalir bebas dari pelupuk.

Laki-laki itu merengkuh kamu. Isaknya pecah. "Pengorbanan besarmu ini, aku tak tahu harus menyebutnya berjihad atau keputusan yang sangat bejat, wahai istriku".

"Ma'afkan aku...", katamu.

"Untuk apa?", tanya suamimu.

Kamu mencium punggung tangan suamimu dan berkata lirih, "Karena aku belum bisa menjadi pendosa yang tegar, baik dan benar".

Lalu kudengar tangis anakmu pecah, lelahmu terseret keatas kasur. Menemani si kecil agar tertidur lagi. Diatas sprei kumal yang hampir tak terganti.

Diatas aspal Bekasi Barat

Dan kekasihku pun berpisah arah pulang di dini hari tadi, menyisakan sepi dan rindu yang masih memburu didalam mobil biruku. Seketika itu pula kudapati Nina memasuki mobilku dengan langkahnya yang ringan seperti biasa dan menduduki jok belakang dengan tenang.

"Halo Nina. Tengoklah. Aku baru saja menemukan harta karun", kataku sambil menepuk-nepuk bungkusan disamping jok ku. "Sekian lama aku merindukannya".

"Itu makanan rakyat", ujarnya.

"Namun begitu sulit mendapatkannya.
Terasa macam berburu harta saja".

"Apa istimewanya?"

"Aku merindukannya. Aromanya menerbangkanku pada potongan ceria masa kecilku. Kue hangat berbahan tepung yang tersuguh diwarung, itu pemandangan pagi yang membuatku tak dapat menahan diri", aku mengendus kue itu sambil terbayang pada masaku menggilai layang-layang.

Nina terdiam. Ia mendekatkan dirinya ke jok depan. Memandangi kue itu diantara remang cahaya lampu jalan yang jatuh kedalam ruangan. Disebuah persimpangan aku berhenti menunggu lampu hijau menyala. Seorang bocah perempuan yang menginjak remaja memainkan gitar kecilnya dari balik kaca luar, entah 'pertunjukan' lagu apa yang sedang ia gelar. Aku menyorongkan dua keping koin lewat kaca yang hanya aku turunkan beberapa senti demi alasan keamanan. Ia mengambilnya dengan sopan namun dua anak lainnya berusaha memperebutkan. Bocah perempuan itu tak marah dan terlihat mengalah ketimbang harus tunduk pada amarah. Uang itu pun berpindah tangan pada remaja laki-laki yang terlihat lebih tua. Tapi kemudian remaja laki-laki itu memberi sepotong roti sebagai ganti. Anak perempuan itu tertawa gembira. Roti itu pun dimakannya.

Tiba-tiba aku teringat kue-kue ku. Aku meliriknya cepat dan mengambil sebagian. Dengan spontan aku membuka kaca, bukan beberapa senti, tapi membuka seluruhnya. Aku menjulurkan kepalaku keluar tanpa menghiraukan hal-hal buruk yang mungkin kudapatkan.

"Kalian mau kue?", teriakku seraya menyodorkan kotak kue pada mereka.

Remaja laki-laki itu mendekatiku dan tersenyum sopan. "Terima kasih ya, mbak".

"Itu ibu... Bukan, mbak", protes bocah perempuan itu.

"Eh iya, makasih bu", ralatnya.

Aku tersenyum dan menutup kaca mobil. Kali ini kulihat tak ada ajang perebutan, mereka mengambilnya dengan berurutan.

"Harta karunmu berpindah", kata Nina.

"Biar. Aku sudah mengantongi harta karun baru dikepalaku".

"Harta macam apa?"

"Harta yang melimpah dua kali lipat dari hartaku sebelumnya. Dua kebahagiaan masa muda yang tinggal dikepala".

"Aku tak mengerti", tukas Nina.

"Besok sore datanglah ke beranda. Kau akan melihatku bersama secangkir teh hijauku dalam cangkir berbunga, asap rokok putihku yang berkepul ke udara dan deraian tawa yang ada dikepala. Deraian tawa milikku bersama teman kecilku dibawah bayang layang-layang dan juga derai tawa anak-anak jalanan itu diatas aspal yang berdebu. Derai tawa yang akan aku simpan dalam kenangan kue harta karunku."

Nina terdiam. Lampu lalu lintas sudah berganti hijau saat kudapati Nina turun dan menghampiri remaja-remaja tersebut.

"Nina, kita harus pergi", teriakku.

"Pulanglah tanpa aku. Aku sedang cemburu. Seharusnya dulu tak kubuat sebuah keputusan dungu tentang mengakhiri hidupku agar hari ini bisa kumiliki harta karunku sendiri".

Aku pun berlalu. Dari spion mobil masih sempat kulihat Nina bersama para remaja. Nina sibuk menjaring deretan derai tawa mereka dengan baju tipis ditubuhnya. Mungkin Nina akan membawanya serta sebelum corong mesjid meneriakan tentang subuh yang hempir tiba, menyimpannya dan mengenangnya bersamaku di beranda saat senja.

*Aku, Nina, para remaja... Diatas aspal musim panas yang mengganas, diantara mesin yang menderu dan kantuk yang mendera*

Rapor bapak


Tiga pasang sepatu tergeletak didepan teras. Aku mengintip melalui jendela. Diatas meja tergelar empat air bening dalam gelas dengan isi yang hampir tandas. Disudut ruang tamu sempit itu bapak sibuk mendengarkan tamu-tamu. Kulihat daun telinganya jadi parabola seperti dirumah-rumah orang kaya. Keduanya melebar, menangkap transmisi dalam komunikasi yang berusaha ia fahami. Sesekali ia mengangguk lalu tertunduk. Belum pernah kulihat bapak seserius itu. Ah, aku tak mengerti.

D
ua lembar kertas mampir keatas meja. Yang satu mampir ke tangan bapak dan ditanda tangani. Yang satu masuk ke tas bapak dan disimpan rapi. Itu kertas apa? Aku bertanya-tanya dalam hati. Ah, aku masih tak mengerti.

Ibu muncul dari kebun tetangga. Aku menariknya dengan tiba-tiba.

"Bu, itu polisi?", tanyaku.

"Sekuriti", ujar ibu.

"Bapak nekat lagi?". Aku mulai khawatir.

Ibu menggeleng. "Bapak akan digaji".

"Pencuri digaji?"

"Bapak dijadikan sekuriti, agar mereka tak lagi khawatir tentang malam sepi. Agar pak haji tak kehilangan ayam jagonya lagi, agar warga berhenti bertanya-tanya tentang harta benda yang raib di dini hari, agar bapak mengerti bahwa dengan gaji tak perlu lagi menjadikan sulit pangan sebagai alasan basi untuk mencuri.

Aku melirik tiga pasang sepatu. Bapak akan mengenakan sepatu seperti itu nanti, lengkap dengan seragam yang tersetrika rapi. Aku tak mengira nasib bapak akan berubah secepat ini. Ah, aku masih berusaha mengerti!

Ibu melirik kedalam lewat jendela sambil berbisik padaku, "Mereka sudah lelah menasehati, mereka lebih senang mempensiunkan bapak dari jabatan pencuri".

Aku termangu. Bulan depan bapak akan bergaji. Bulan depan akan ada lauk dan nasi disetiap hari. Halal! Bukan hasil caci maki. Ah, aku bersyukur pada Illahi.

*Pagi menjelang akhir pekan kala mata ini sulit dipicingkan*

Aku, Saya Yang Nyata



"Mereka bilang kamu orang aneh", kata Nina.

"Bukankah lebih aneh bila mereka terlalu menyibukkan diri dan bergunjing tentang perbedaan dan keunikan saya tanpa mau tahu siapa diri saya selain dari apa yang terlihat diluar saja?"

"Mereka juga menyebut-nyebut tentang psikopat", celotehnya

"Hanya karena saya terlalu menikmati keadaan emosional secara mendalam dan sulit mengadaptasikan dengan hal-hal yang umumnya menjadi aturan bersikap dalam idealisme kehidupan? Bila demikian, biarkan saya menjadi apa yang seperti mereka pikirkan.

Nina memandang saya. "Tubuhmu serupa kaca. Dengan bayangan saya didalamnya". Lalu ia duduk disamping saya. Menanti pagi yang mulai merambah hari.

*Pagi emosional, saat bom nuklir (sangat) dibutuhkan untuk jatuh diatas tumpukan opini-opini dangkal*

Agustus 13, 2012

Bunting

"Tengah malam sebentar lagi. Aku akan membawamu kerumahku, sahabat", ajakku.

"Apa gerangan yang kau buat tengah malam nanti, wanita besar?"

"Aku akan melahirkan sekeranjang mimpi".

"Kau hamil?"

"Ya. Rahimku telah dibuntingi tubuh-tubuh berisi harapan minggu lalu. Malam ini aku akan berpesta untuk bayi mimpiku dan kau, sahabat baikku".

"Jadi lah bila begitu!"

Dan aku pun tersenyum lalu melenggang. Pulang. Membawa serta calon bayiku dan juga sahabat baik ditangan kananku, si rokok putih yang hampir hambar dimakan malam.

Sudut ramadhan

Rokok ia hisap. Cuma itu penawar gaduh ditelinga. Rengekan nona kecil soal sepatu sekolah yang mulai bolong dan bahan pangan yang kosong tak lagi memenuhi lorong telinga, suara-suara itu sudah terseret paksa bersama asap yang membumbung.

Tapi rokok itu pun habis, bayangan pahit kembali mengiris. Pahit yang telah bertahun-tahun ditenggak nona kecilnya. Pahit yang berupa serbuk, pil, kapsul, dan cairan yang harus masuk kedalam tubuh nona kecil ayu dirumahnya. Nona kecil yang lahir dari rahimnya setelah banyak sperma berjejal disana. Nona kecil yang kini tengah sibuk menombaki penyakit dengan semangatnya.

Ia pun menenggelamkan semua dengan menari. Bergoyang dengan peluh yang luluh dari pori-pori kulit kepala hingga selangkangan yang menua. Gaun tipisnya selalu terserak entah kemana. Usia muda sudah mulai meninggalkannya dan ia tetap berdiri menanti banyak tangan-tangan genit yang akan menggamit. Ia tertawa-tawa untuk bahagia mereka, berseloroh dalam lantur agar duka mereka terkubur. Lalu dalam sesaat ia sudah tenggelam, mengukir tumpukan nilai nikmat. Dan ia tetap menutup telinga dari sebutan pelacur tua, dan sesungguhnya itu membuatnya merasa tetap baik-baik saja.

Pagi menjelang. Ia pulang. Nona kecil ayunya terbaring tak bergerak. Dingin. Ia tertidur setelah lelah menunggu bunda tersayangnya dalam sebuah do'a di dini hari buta. Sebuah kitab suci menempel ditangan, menemani tidur panjangnya, tidur yang telah mencabut sakitnya. Tidur yang diharapkan membawa bundanya kembali pada ramadhan.

Jasad bernama harapan

Nina kembali. Terduduk diteras rumah menjelang subuh tadi. Aku ingin mengusirnya agar ia tak menjadi hantu kesiangan. Tapi aku segera teringat bahwa ini ramadhan, para pemburu hantu pasti sedang sibuk beribadah di rumah Tuhan. Maka kubiarkan ia duduk dikursi berdebu, menunduk bisu. Aku menarik kursi, mendudukan bokong besarku diatasnya. Kami terdiam sekian lama, airmataku mulai bergulir diatas pipi yang mulai menua. Aku terisak, persis seperti Nina.

"Kesetiakawananmu tak kupungkiri", kata Nina dengan suara yang sedikit parau.

"Sebab apa hingga kau simpulkan aku dengan demikian?"

"Kau turut berduka saat aku berduka. Padahal kau pun tak tahu pasal".

"Pasalmu memang aku tak menahu. Tapi bukan itu yang mendera hatiku. Aku menangis karena aku baru saja melihat kematian".

"Kematian?"

Aku tak menjawab. Aku bangkit dari dudukku.

"Kemana kau hendak beranjak?", sergahnya.

"Mengubur jasad yang baru mati".

"Jasad siapa?"

"Jasad harapan yang kau seret semalaman hingga ke teras rumahku. Jasad yang kau pilih untuk mati dalam tangis ketimbang kau pertahankan dalam genggaman".

Nina membisu. Teriakan muadzin menggema dari pengeras suara. Memanggil semua yang bernafas untuk bersujud ikhlas dan menyentak hantu gentayangan agar pulang ketempat mereka bersemayam. Nina pulang dan suatu saat nanti ia pasti akan kembali, menyapaku dari seberang telpon yang sep

Juntai

Tadi malam aku melihat Nina berkelebat disampingku. Ia berdiri disudut teras sebuah surau. Gaun putihnya menyentuh lantai dan tangan dinginnya dipenuhi benang-benang menjuntai. Ia menatapku, suatu perintah keras agar aku mengambilnya dengan bergegas.

"Boleh kutahu apa yang harus kulakukan dengan ini semua?", tanyaku.

"Menyulam hidupmu".

"Tapi aku tak ingin menjadikan hidup ini sebagai sebuah sulaman, melainkan lukisan".

"Lukisan mana yang kamu ceracaukan? Lukisan berisi awan yang warna birunya kamu sita dari laki-laki durjana? Lukisan berisi mawar yang indahnya kamu torehkan dari raungan kamar ke kamar? Lukisan berisi deretan melati yang wanginya kamu curi dari lumbung hati suami-suami sepi? Lukisan batu yang kau agungkan macam safir biru?"

Aku tak bersuara.

"Mulailah menyulam. Hati-hati dengan pilihan polamu, atau kamu hanya akan melebur detikmu dalam sebuah kesia-siaan berbentuk kesimpang siuran".

Aku mengangguk.

"Dan hentikan menggauli banyak lebah madu dan ular dibawah batu. Bukan bisa mereka yang akan membuatmu mati, tapi janji-janji berlafal Tuhan yang takkan terpenuhi", tegas Nina.

Mataku berkaca-kaca. Bayang Nina ikut lebur didalamnya.

*Sebentuk alur dan penokohan pagi menjelang akhir ramadhan*

Juni 18, 2012

Pulang


Di jendela pagi, saat semua harus berpulang. Tertinggal hati, semalam kutuai setumpuk senang. Sisi hati mengaduh, sisi otak menghardik keluh. Tak habis memperkarakan pagi yang mencandu malam dan malam yang hanya setarik candu.



Menunggu


Siang ini aku akan sibuk mengail hari, setelah itu aku akan berdiri dibatas senja. Menunggu kedatangan mayat siang yang akan ditandu ratusan deret menit lalu dikuburkan diatas bukit. Pisau kecilku sudah kuselipkan dibalik senyum, ujungnya akan kupakai untuk menikam sepi malam nanti. 

*Mengerling dan mengikik pada matahari yang sedang sombong-sombongnya pada siang ini*

Juni 17, 2012

Disudut sore

Sore disudut cafe kecil, masih terduduk bersama Nina. Aku menarik sebatang rokok dari bungkusnya dan meleburnya menjadi abu.

"Sore ini aku menantimu bertutur", Nina membuka suara. "Kepalamu sudah membesar, isinya perlu kau pecah agar kau tak gusar".

Aku menarik batang rokok terakhir. "Mendekatlah. Aku ingin berkhayal bersamamu...
KEMARIN DULU acap kali aku merapat ke kasur tua berisi kapuk-kapuk berdebu itu, berlapis sprei warisan milik ibu. Warna putih sudah serupa warna abu, tahun-tahun sebelumnya banyak jejak kaki nakalku melompat disitu. Wangi menyebar. Bau kamper. Ibu sudah menyimpannya dilemari selama 3 hari setelah sibuk mencuci. Bau kamper... aku rindu kamper dikamarku. Rindu masa lalu berbau kamper.

HARI INI aku akan merapat ke kasur asing dengan pegas didalamnya, berhias sprei tanpa bunga-bunga diatasnya. Masih ada sisa wangi cucian barunya, malam-malam sebelumnya banyak tumpahan cairan cintaku disana. Gairahku menyebar. Bau kelaki-lakiannya muncul lagi. Kami sudah terbiasa berkutat dikamar sempit ini setelah makan malam berdua. Bau pria... aku rindu kamar sempit disana. Rindu caranya membuatku mendesah.

ANGAN SOAL MASA DEPANKU, aku merindukan kasur empuk. Aku terbaring dengan bacaan ringan pelepas lelah. Disampingku ada laki-laki yang resmi dipanggil ayah karena kami telah meletakkan nama-nama kami dalam akta nikah. Gairah hidupku berbinar. Aku akan jadi ibu, meletakkan kamper dilemari untuk sibuah hati seperti ibu. Aku akan bercinta dengan pasangan hidup yang ku panggil ayah. Bila perlu kan kubuat pintu lemariku menganga saat bercinta. Agar ku ingat tentang kamper dari masa laluku, gelora gila hari ini, dan angan tentang mesra hari tua".

"Anganmu... Serupa anganku", kata Nina. Ia menerawang pada mimpi tentang kekasihnya.

"Ini tentang bercinta. Selebihnya dari cerita itu aku tak faham mengenai cinta". Aku mematikan rokokku. Meninggalkan Nina dan belasan puntung rokok dalam asbak coklat tua.