Agustus 13, 2012

Sudut ramadhan

Rokok ia hisap. Cuma itu penawar gaduh ditelinga. Rengekan nona kecil soal sepatu sekolah yang mulai bolong dan bahan pangan yang kosong tak lagi memenuhi lorong telinga, suara-suara itu sudah terseret paksa bersama asap yang membumbung.

Tapi rokok itu pun habis, bayangan pahit kembali mengiris. Pahit yang telah bertahun-tahun ditenggak nona kecilnya. Pahit yang berupa serbuk, pil, kapsul, dan cairan yang harus masuk kedalam tubuh nona kecil ayu dirumahnya. Nona kecil yang lahir dari rahimnya setelah banyak sperma berjejal disana. Nona kecil yang kini tengah sibuk menombaki penyakit dengan semangatnya.

Ia pun menenggelamkan semua dengan menari. Bergoyang dengan peluh yang luluh dari pori-pori kulit kepala hingga selangkangan yang menua. Gaun tipisnya selalu terserak entah kemana. Usia muda sudah mulai meninggalkannya dan ia tetap berdiri menanti banyak tangan-tangan genit yang akan menggamit. Ia tertawa-tawa untuk bahagia mereka, berseloroh dalam lantur agar duka mereka terkubur. Lalu dalam sesaat ia sudah tenggelam, mengukir tumpukan nilai nikmat. Dan ia tetap menutup telinga dari sebutan pelacur tua, dan sesungguhnya itu membuatnya merasa tetap baik-baik saja.

Pagi menjelang. Ia pulang. Nona kecil ayunya terbaring tak bergerak. Dingin. Ia tertidur setelah lelah menunggu bunda tersayangnya dalam sebuah do'a di dini hari buta. Sebuah kitab suci menempel ditangan, menemani tidur panjangnya, tidur yang telah mencabut sakitnya. Tidur yang diharapkan membawa bundanya kembali pada ramadhan.

Tidak ada komentar: