Agustus 13, 2012

Jasad bernama harapan

Nina kembali. Terduduk diteras rumah menjelang subuh tadi. Aku ingin mengusirnya agar ia tak menjadi hantu kesiangan. Tapi aku segera teringat bahwa ini ramadhan, para pemburu hantu pasti sedang sibuk beribadah di rumah Tuhan. Maka kubiarkan ia duduk dikursi berdebu, menunduk bisu. Aku menarik kursi, mendudukan bokong besarku diatasnya. Kami terdiam sekian lama, airmataku mulai bergulir diatas pipi yang mulai menua. Aku terisak, persis seperti Nina.

"Kesetiakawananmu tak kupungkiri", kata Nina dengan suara yang sedikit parau.

"Sebab apa hingga kau simpulkan aku dengan demikian?"

"Kau turut berduka saat aku berduka. Padahal kau pun tak tahu pasal".

"Pasalmu memang aku tak menahu. Tapi bukan itu yang mendera hatiku. Aku menangis karena aku baru saja melihat kematian".

"Kematian?"

Aku tak menjawab. Aku bangkit dari dudukku.

"Kemana kau hendak beranjak?", sergahnya.

"Mengubur jasad yang baru mati".

"Jasad siapa?"

"Jasad harapan yang kau seret semalaman hingga ke teras rumahku. Jasad yang kau pilih untuk mati dalam tangis ketimbang kau pertahankan dalam genggaman".

Nina membisu. Teriakan muadzin menggema dari pengeras suara. Memanggil semua yang bernafas untuk bersujud ikhlas dan menyentak hantu gentayangan agar pulang ketempat mereka bersemayam. Nina pulang dan suatu saat nanti ia pasti akan kembali, menyapaku dari seberang telpon yang sep

Tidak ada komentar: