Agustus 13, 2012

Juntai

Tadi malam aku melihat Nina berkelebat disampingku. Ia berdiri disudut teras sebuah surau. Gaun putihnya menyentuh lantai dan tangan dinginnya dipenuhi benang-benang menjuntai. Ia menatapku, suatu perintah keras agar aku mengambilnya dengan bergegas.

"Boleh kutahu apa yang harus kulakukan dengan ini semua?", tanyaku.

"Menyulam hidupmu".

"Tapi aku tak ingin menjadikan hidup ini sebagai sebuah sulaman, melainkan lukisan".

"Lukisan mana yang kamu ceracaukan? Lukisan berisi awan yang warna birunya kamu sita dari laki-laki durjana? Lukisan berisi mawar yang indahnya kamu torehkan dari raungan kamar ke kamar? Lukisan berisi deretan melati yang wanginya kamu curi dari lumbung hati suami-suami sepi? Lukisan batu yang kau agungkan macam safir biru?"

Aku tak bersuara.

"Mulailah menyulam. Hati-hati dengan pilihan polamu, atau kamu hanya akan melebur detikmu dalam sebuah kesia-siaan berbentuk kesimpang siuran".

Aku mengangguk.

"Dan hentikan menggauli banyak lebah madu dan ular dibawah batu. Bukan bisa mereka yang akan membuatmu mati, tapi janji-janji berlafal Tuhan yang takkan terpenuhi", tegas Nina.

Mataku berkaca-kaca. Bayang Nina ikut lebur didalamnya.

*Sebentuk alur dan penokohan pagi menjelang akhir ramadhan*

Tidak ada komentar: