September 20, 2012

Rapor bapak


Tiga pasang sepatu tergeletak didepan teras. Aku mengintip melalui jendela. Diatas meja tergelar empat air bening dalam gelas dengan isi yang hampir tandas. Disudut ruang tamu sempit itu bapak sibuk mendengarkan tamu-tamu. Kulihat daun telinganya jadi parabola seperti dirumah-rumah orang kaya. Keduanya melebar, menangkap transmisi dalam komunikasi yang berusaha ia fahami. Sesekali ia mengangguk lalu tertunduk. Belum pernah kulihat bapak seserius itu. Ah, aku tak mengerti.

D
ua lembar kertas mampir keatas meja. Yang satu mampir ke tangan bapak dan ditanda tangani. Yang satu masuk ke tas bapak dan disimpan rapi. Itu kertas apa? Aku bertanya-tanya dalam hati. Ah, aku masih tak mengerti.

Ibu muncul dari kebun tetangga. Aku menariknya dengan tiba-tiba.

"Bu, itu polisi?", tanyaku.

"Sekuriti", ujar ibu.

"Bapak nekat lagi?". Aku mulai khawatir.

Ibu menggeleng. "Bapak akan digaji".

"Pencuri digaji?"

"Bapak dijadikan sekuriti, agar mereka tak lagi khawatir tentang malam sepi. Agar pak haji tak kehilangan ayam jagonya lagi, agar warga berhenti bertanya-tanya tentang harta benda yang raib di dini hari, agar bapak mengerti bahwa dengan gaji tak perlu lagi menjadikan sulit pangan sebagai alasan basi untuk mencuri.

Aku melirik tiga pasang sepatu. Bapak akan mengenakan sepatu seperti itu nanti, lengkap dengan seragam yang tersetrika rapi. Aku tak mengira nasib bapak akan berubah secepat ini. Ah, aku masih berusaha mengerti!

Ibu melirik kedalam lewat jendela sambil berbisik padaku, "Mereka sudah lelah menasehati, mereka lebih senang mempensiunkan bapak dari jabatan pencuri".

Aku termangu. Bulan depan bapak akan bergaji. Bulan depan akan ada lauk dan nasi disetiap hari. Halal! Bukan hasil caci maki. Ah, aku bersyukur pada Illahi.

*Pagi menjelang akhir pekan kala mata ini sulit dipicingkan*

Tidak ada komentar: