September 20, 2012

Diatas aspal Bekasi Barat

Dan kekasihku pun berpisah arah pulang di dini hari tadi, menyisakan sepi dan rindu yang masih memburu didalam mobil biruku. Seketika itu pula kudapati Nina memasuki mobilku dengan langkahnya yang ringan seperti biasa dan menduduki jok belakang dengan tenang.

"Halo Nina. Tengoklah. Aku baru saja menemukan harta karun", kataku sambil menepuk-nepuk bungkusan disamping jok ku. "Sekian lama aku merindukannya".

"Itu makanan rakyat", ujarnya.

"Namun begitu sulit mendapatkannya.
Terasa macam berburu harta saja".

"Apa istimewanya?"

"Aku merindukannya. Aromanya menerbangkanku pada potongan ceria masa kecilku. Kue hangat berbahan tepung yang tersuguh diwarung, itu pemandangan pagi yang membuatku tak dapat menahan diri", aku mengendus kue itu sambil terbayang pada masaku menggilai layang-layang.

Nina terdiam. Ia mendekatkan dirinya ke jok depan. Memandangi kue itu diantara remang cahaya lampu jalan yang jatuh kedalam ruangan. Disebuah persimpangan aku berhenti menunggu lampu hijau menyala. Seorang bocah perempuan yang menginjak remaja memainkan gitar kecilnya dari balik kaca luar, entah 'pertunjukan' lagu apa yang sedang ia gelar. Aku menyorongkan dua keping koin lewat kaca yang hanya aku turunkan beberapa senti demi alasan keamanan. Ia mengambilnya dengan sopan namun dua anak lainnya berusaha memperebutkan. Bocah perempuan itu tak marah dan terlihat mengalah ketimbang harus tunduk pada amarah. Uang itu pun berpindah tangan pada remaja laki-laki yang terlihat lebih tua. Tapi kemudian remaja laki-laki itu memberi sepotong roti sebagai ganti. Anak perempuan itu tertawa gembira. Roti itu pun dimakannya.

Tiba-tiba aku teringat kue-kue ku. Aku meliriknya cepat dan mengambil sebagian. Dengan spontan aku membuka kaca, bukan beberapa senti, tapi membuka seluruhnya. Aku menjulurkan kepalaku keluar tanpa menghiraukan hal-hal buruk yang mungkin kudapatkan.

"Kalian mau kue?", teriakku seraya menyodorkan kotak kue pada mereka.

Remaja laki-laki itu mendekatiku dan tersenyum sopan. "Terima kasih ya, mbak".

"Itu ibu... Bukan, mbak", protes bocah perempuan itu.

"Eh iya, makasih bu", ralatnya.

Aku tersenyum dan menutup kaca mobil. Kali ini kulihat tak ada ajang perebutan, mereka mengambilnya dengan berurutan.

"Harta karunmu berpindah", kata Nina.

"Biar. Aku sudah mengantongi harta karun baru dikepalaku".

"Harta macam apa?"

"Harta yang melimpah dua kali lipat dari hartaku sebelumnya. Dua kebahagiaan masa muda yang tinggal dikepala".

"Aku tak mengerti", tukas Nina.

"Besok sore datanglah ke beranda. Kau akan melihatku bersama secangkir teh hijauku dalam cangkir berbunga, asap rokok putihku yang berkepul ke udara dan deraian tawa yang ada dikepala. Deraian tawa milikku bersama teman kecilku dibawah bayang layang-layang dan juga derai tawa anak-anak jalanan itu diatas aspal yang berdebu. Derai tawa yang akan aku simpan dalam kenangan kue harta karunku."

Nina terdiam. Lampu lalu lintas sudah berganti hijau saat kudapati Nina turun dan menghampiri remaja-remaja tersebut.

"Nina, kita harus pergi", teriakku.

"Pulanglah tanpa aku. Aku sedang cemburu. Seharusnya dulu tak kubuat sebuah keputusan dungu tentang mengakhiri hidupku agar hari ini bisa kumiliki harta karunku sendiri".

Aku pun berlalu. Dari spion mobil masih sempat kulihat Nina bersama para remaja. Nina sibuk menjaring deretan derai tawa mereka dengan baju tipis ditubuhnya. Mungkin Nina akan membawanya serta sebelum corong mesjid meneriakan tentang subuh yang hempir tiba, menyimpannya dan mengenangnya bersamaku di beranda saat senja.

*Aku, Nina, para remaja... Diatas aspal musim panas yang mengganas, diantara mesin yang menderu dan kantuk yang mendera*

Tidak ada komentar: