September 20, 2012

Asbak




Disudut yang sama. Duduk bersama Nina dan dua cangkir teh hijau kental tanpa gula.

"Kamu sakit, wahai wanita serupa langsat?", tanya saya seraya meneliti sinar matanya yang redup.

Nina meraih ponselnya. "Bila pun saya mengiyakan, tolong berikan saya nomor tabib kelas wahid".

"Saya tak menahu tentang itu. Apa tak sebaiknya kita bicara?"

Nina memandang saya. Lekat. Ia berusaha mengail rasa perca
ya dari mata saya. Beberapa saat kemudian bibir indahnya membuka suara...

"Detik ini saya sadari saya masih harus jadi pasien. Masih ada luka yang kembali menganga. Usia berlanjut tanpa seorangpun bisa jadi penyembuh. Bawakan saya tabib dengan obat mujarab, dukun tampan yang enggan mengeruk kesenangan, dokter pandai minus rayuan.

Saya lelah menutup malam dengan setumpuk dendam yang acap kali kembali. Ingin saya memangsa pria dengan cara yang paling manis, dengan impian tinggi, dengan segala kenikmatan yang bisa saya beri, tanpa perlu tahu bahwa esok hatinya akan teriris.

Saya letih mengikuti langkah serigala-serigala. Saya cuma kucing hilang dan mencari rumah berisi hati tempat berpulang. Saya ingin ditiduri orang yang saya cintai tanpa membayangkan sebuah belati. Saya ingin sembuh. Lelah menjadi pasien.

Bawakan saya penyembuh, sang penjaga hati diumur yang tersisa agar saya tahu untuk apa melanjutkan tarikan nafas tersisa..."

Saya menarik cangkir teh. Menyeruputnya.

"Kamu tentu tahu rasa teh ini", kata saya.

"Pahit", jawabnya cepat.

"Tapi nikmat".

Nina mengeryitkan dahinya. "Apa yang hendak kamu sampaikan, wahai wanita sawo matang?"

"Dunia ini dipenuhi pelacur. Manusia-manusia yang melacurkan dan melucahkan jiwa dan pikiran mereka untuk berbagai titik kenikmatan. Nikmat yang pahit. Dan dunia ini dipenuhi penikmat, macam kamu, saya, mereka dan mereka yang lain. Macam si tabib, si dokter, si dukun, si serigala dan si kucing".

Saya meraih bungkus rokok putih ditas saya. Menyodorkannya pada Nina. Sore ini akan kami habiskan untuk membakar sebungkus nikmat.

Tidak ada komentar: