"Alhamdulillah.
Masa yang dikatakan sebagai sebuah masa gemilang dari sebuah perjuangan
panjang itu pun datang untuk kamu, Rumi", ujar bunda dengan bangga.
Rumi hanya terdiam. Perkataan bunda barusan tak membuatnya berpaling dari bacaan.
"Bunda bahagia. Bunda bangga. Tak adakah bangga yang turut dihatimu?", tanya bunda.
"Diamku adalah besarnya banggaku. Seperti juga ketika dulu beratnya deritaku tinggal dalam diamku. Miskin tanpa jeda", jawab Rumi.
"Mengapa kamu begitu ketus bertandas tentang miskin, anakku?"
"Bunda mau tahu kenapa?", Rumi menurunkan bacaannya. Bukan sekali atau dua aku mengeluhkan tentang pilihan, tentang kesempatan menikmati masa muda yang menggoda tanpa harus melulu menyiksa tubuhnya dengan kerja. Duniaku hanya terbatas buku dan membantu pekerjaan bunda. Lelahku hanya terbayar dengan wejangan bunda tentang tak menumpuk keluh diantara peluh dan selalu berucap hamdalah atas nikmat Allah. Bunda tak pernah tahu bahwa aku bertempur dengan rasa malu karena aku tak banyak tahu tentang masa mudaku yang terseret berlalu. Bunda lebih memilih membesarkan aku dalam keadaan tanpa pilihan ketimbang kembali kerumah besar yang seharusnya menjadi milikku, milik saudagar kaya yang bisa kupanggil ayah hingga umurku menua. Kini ketika perjuanganku telah sampai pada cita-cita, aku sungguh tidak tahu bahagia itu seperti apa karena miskin pernah merenggutnya. Bila ini dikatakan sebuah keberhasilan maka ini adalah keberhasilan sebuah do'a setelah duduk berlama-lama, jauh lebih lama ketimbang sepotong do'a milik bunda sebelum akhirnya kembali sibuk menekuni urusan dunia".
"Ya Allah, Rumi... ", bunda terisak. Dadanya sesak. "Ma'afkan bunda yang telah menggelar begitu banyak penderitaan didepan matamu, nak".
Rumi diam bergeming.
Bunda mengelus kepala Rumi dengan airmata berlinang. Tangan kasarnya menyentuh lembut rambut buah hati satu-satunya. "Pertama, bunda lebih memilih membiarkanmu bertempur dengan rasa malu tentang tak mengetahui hal ini dan itu karena bunda tak ingin membiarkanmu menggilai masa mudamu untuk menggandrungi hal-hal tabu bersama sekumpulan orang yang kamu sebut kawan. Kedua, bunda membesarkanmu bukan tanpa pilihan. Saudagar yang ingin terus kau sebut sebagai ayah itu hampir saja menjual kita untuk menebus hutang judi yang terus menggerogoti, hingga akhirnya bunda memutuskan untuk membawamu pergi sampai kesini. Bila perjuanganku untuk menyelamatkanmu dulu kamu sebut sebagai sebuah kekeliruan, bunda memohon untuk dima'afkan. Ketiga, bunda memang selalu terburu-buru kembali menekuni urusan dunia hingga hanya mampu membuat sepotong do'a. Juragan Salim tempat kita bekerja telah memberikan rumah tua ini untuk tempat berteduh kita, telah mengambil banyak mantri untuk menyembuhkanmu saat wabah melanda dulu, dan membiarkan kita mengambil banyak hasil pangan untuk dinikmati saat kita kehabisan uang dipundi-pundi. Dan itu selalu membuat bunda tekun menjalani urusan dunia untuk membayar jasanya pada kita dan mentitahmu untuk selalu berucap hamdalah. Mungkin dudukku dalam do'a tak selama waktumu memohonkan do'a pada sang pencipta, tapi hanya satu yang selalu terucap dalam sepotong do'aku untukmu disela sujudku yang tergesa..."
"Apa itu bunda?", tanya Rumi yang mulai berlinang airmata.
"Bunda hanya inginkan terkabulnya semua do'a yang kamu panjatkan disetiap harinya", jawab bunda tersenyum.
Tangis Rumi pun pecah. Ia memeluk bunda. Bunda yang seumur hidupnya ia anggap hanya memberinya kesulitan saja. Dari mesjid desa beduk terdengar mulai ditabuh bertalu-talu. Suara takbir mulai memenuhi udara pagi. Bunda menyeka airmata anaknya dan menyuruh Rumi untuk segera mengambil mukenah, sholat Idul Fitri segera digelar. Mereka keluar dari rumah dan berjalan dengan rapat. Dan pagi itu pun menjadi hari yang fitri untuk sebuah nikmat bathin yang luar biasa. Bagi Rumi dan Bunda.
Rumi hanya terdiam. Perkataan bunda barusan tak membuatnya berpaling dari bacaan.
"Bunda bahagia. Bunda bangga. Tak adakah bangga yang turut dihatimu?", tanya bunda.
"Diamku adalah besarnya banggaku. Seperti juga ketika dulu beratnya deritaku tinggal dalam diamku. Miskin tanpa jeda", jawab Rumi.
"Mengapa kamu begitu ketus bertandas tentang miskin, anakku?"
"Bunda mau tahu kenapa?", Rumi menurunkan bacaannya. Bukan sekali atau dua aku mengeluhkan tentang pilihan, tentang kesempatan menikmati masa muda yang menggoda tanpa harus melulu menyiksa tubuhnya dengan kerja. Duniaku hanya terbatas buku dan membantu pekerjaan bunda. Lelahku hanya terbayar dengan wejangan bunda tentang tak menumpuk keluh diantara peluh dan selalu berucap hamdalah atas nikmat Allah. Bunda tak pernah tahu bahwa aku bertempur dengan rasa malu karena aku tak banyak tahu tentang masa mudaku yang terseret berlalu. Bunda lebih memilih membesarkan aku dalam keadaan tanpa pilihan ketimbang kembali kerumah besar yang seharusnya menjadi milikku, milik saudagar kaya yang bisa kupanggil ayah hingga umurku menua. Kini ketika perjuanganku telah sampai pada cita-cita, aku sungguh tidak tahu bahagia itu seperti apa karena miskin pernah merenggutnya. Bila ini dikatakan sebuah keberhasilan maka ini adalah keberhasilan sebuah do'a setelah duduk berlama-lama, jauh lebih lama ketimbang sepotong do'a milik bunda sebelum akhirnya kembali sibuk menekuni urusan dunia".
"Ya Allah, Rumi... ", bunda terisak. Dadanya sesak. "Ma'afkan bunda yang telah menggelar begitu banyak penderitaan didepan matamu, nak".
Rumi diam bergeming.
Bunda mengelus kepala Rumi dengan airmata berlinang. Tangan kasarnya menyentuh lembut rambut buah hati satu-satunya. "Pertama, bunda lebih memilih membiarkanmu bertempur dengan rasa malu tentang tak mengetahui hal ini dan itu karena bunda tak ingin membiarkanmu menggilai masa mudamu untuk menggandrungi hal-hal tabu bersama sekumpulan orang yang kamu sebut kawan. Kedua, bunda membesarkanmu bukan tanpa pilihan. Saudagar yang ingin terus kau sebut sebagai ayah itu hampir saja menjual kita untuk menebus hutang judi yang terus menggerogoti, hingga akhirnya bunda memutuskan untuk membawamu pergi sampai kesini. Bila perjuanganku untuk menyelamatkanmu dulu kamu sebut sebagai sebuah kekeliruan, bunda memohon untuk dima'afkan. Ketiga, bunda memang selalu terburu-buru kembali menekuni urusan dunia hingga hanya mampu membuat sepotong do'a. Juragan Salim tempat kita bekerja telah memberikan rumah tua ini untuk tempat berteduh kita, telah mengambil banyak mantri untuk menyembuhkanmu saat wabah melanda dulu, dan membiarkan kita mengambil banyak hasil pangan untuk dinikmati saat kita kehabisan uang dipundi-pundi. Dan itu selalu membuat bunda tekun menjalani urusan dunia untuk membayar jasanya pada kita dan mentitahmu untuk selalu berucap hamdalah. Mungkin dudukku dalam do'a tak selama waktumu memohonkan do'a pada sang pencipta, tapi hanya satu yang selalu terucap dalam sepotong do'aku untukmu disela sujudku yang tergesa..."
"Apa itu bunda?", tanya Rumi yang mulai berlinang airmata.
"Bunda hanya inginkan terkabulnya semua do'a yang kamu panjatkan disetiap harinya", jawab bunda tersenyum.
Tangis Rumi pun pecah. Ia memeluk bunda. Bunda yang seumur hidupnya ia anggap hanya memberinya kesulitan saja. Dari mesjid desa beduk terdengar mulai ditabuh bertalu-talu. Suara takbir mulai memenuhi udara pagi. Bunda menyeka airmata anaknya dan menyuruh Rumi untuk segera mengambil mukenah, sholat Idul Fitri segera digelar. Mereka keluar dari rumah dan berjalan dengan rapat. Dan pagi itu pun menjadi hari yang fitri untuk sebuah nikmat bathin yang luar biasa. Bagi Rumi dan Bunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar