Juli 16, 2008

Negoisasi hati

Bagaimana bila kau jalani lebih dari separuh hidupmu dan meyakini bahwa inilah bahagiamu yang teramat nyata, titik manis yang tinggal kau jalani secara rutin disisa hidup bersama kekasih abadimu. Namun akhirnya kau tercenung disatu titik lain tuk terhenti sejenak, menangguhkan tawa bahagiamu dan menoleh sejenak ke sudut itu.

Mungkin kau akan tercenung terpaku dengan sedikit kerut dikeningmu atas hal yang terlintas dan berkelebat hebat dalam jasad. Lalu kau mulai tergelitik dan merasa sangat sangat ingin tau. Bahkan merasa sekarat karena ingin dekat. Merasa lapar akan jawaban atas penegasan rasa dan pandanganmu untuk mendatanginya.

Sesaat kau akan bertanya iya atau tidak, maju atau diam, berseru atau jujurmu tertikam. Dan bila kau perturutkan inginmu tuk berhenti disudut itu, maka kau akan mendatangi sudut hatimu dan mengacai warna hatimu yang berubah ranum dan merah jambu. Namun kau menolak dikatakan berpaling meski acap kali tak ikhlas tuk jujur bertandas. Lalu kau tempatkan sedikit pikirmu pada kekasih bertahunmu sementara kau hadapkan hatimu menggeluti manisnya haru biru disudut baru. Dan kau mulai tau dirimu berpaling. Lalu kau sering diam dalam gelap dan sunyi, hingga hanya irama degup jantungmu sendiri yang menggedor ruang telinga dengan ganasnya. Merasakan jantungmu, merasakan tiap sudutnya memompa darah ke sudut hati yang bergolak dan berfikir tentang meyakini itu lumrah meski salah, indah meski kerap bertanya berdosakah.

Biarkan saja degub jantungmu memenuhi ruang kosongmu malam ini, biarkan memompa darah ke kepalamu agar pikirmu bisa tetap di titik bahagiamu, dan biarkan jua kau memihak belahan lain hatimu untuk sudut bahagiamu yang lain dibaliknya. Dan bila baka tak kan ada kiranya haruskah degubmu bersaksi atas hati yang teriris, atau justru kau bahagia berpaling ke titik kau bermula?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Koq ngga' pernah keliatan ngilang kemana miiawww...?