Ponsel saya berdering. Itu Nina, hantu yang terus mengetuk pintu depan rumah
saya. Suara paraunya menyapa diseberang sana, memenuhi telinga saya. Saya terdiam, membiarkan ia membuka suara...
"Kawan, saya terbangun dipagi ini. Lagi-lagi saya meng-hamdalah-kan
penambahan waktu yang diberikan Tuhan pada saya. Saya mengerjap mata sembab
setelah bangun dari tidur yang tak pernah dibilang teratur. Saya tidak tahu berapa
jumlah umur tersisa yang tercatat pada notes sang Pencipta. Entah mengapa hari
ini saya terpikir tentang waktu tersisa, sementara rasanya baru kemarin hidup
ini bermula. Saya masih memuja cara berpikir saya tentang memudahkan nilai
kebahagiaan yang Tuhan beri menjadi keping hura-hura, mengecilkan nilai dosa,
melegalkan semua yang saya kira menjadi pembenaran logika. Saya ingin menutup
mata tentang jumlah usia yang menjadi angka pasti dalam phase kehidupan
saya. Tapi terkadang saya bergidik melihat perempuan lain mengerang pada saya.
Membuat saya tak bisa menghindari fakta dosa dalam usia...
Kawan, mereka yang bergantian menangis tentang bersuami tapi terkhianati,
beranak tapi mereka melunjak, berkecukupan tapi terabaikan, bahagia tapi penuh
drama, miskin dusta tapi minus romansa. Mereka mengabari saya tentang suasana
hatinya. Berceloteh bahwa mereka akan membuang sesaknya, mengail
pikiran-pikiran indah, memburu haru biru dalam kisah nirwana, melambung dalam
hiruk pikuk pelataran kesenangan, bahkan bertanya pada saya tentang mampu kah
saya mencarikan bubuk setan untuk melepaskan lelahnya. Mereka terdengar seperti
teriakan perawan hanyut disungai, tergiang ditelinga saya. Lalu mereka pun
larut pada ladang kesenangan mereka. Menjadi tamak, kasar dan liar. Memonopoli
dosa dan mengadopsi nista untuk obat penebus airmata. Dan hidup mereka pun
hampir serupa dengan saya, menjadi manusia yang tak pernah mendapati matahari
untuk dijumpa. Hidupnya serba tentang kelam, tentang bersenandung dalam dingin
malam.
Kawan, lalu hari itu saya terbangun dengan isi kepala tak menentu. Itu
pertama kalinya dalam beberapa tahun saya melihat terang. Matahari! Itu
matahari! Saya hidup disiang hari! Itu keajaiban! Itu rekor yang harus
dirayakan! Saya berlari keluar, saya berdiri didepan jendela, ada tubuh berisi
saya didalam bayangan. Disana juga ada benda yang jelas tertera, keriput saya.
Astaga! Setua inikah saya? Berapa usia saya? Kapan saya melewatkan usia kepala
tiga saya? Kapan saya berada diusia ini? Seingat saya, saya tak pernah amnesia.
Saya menangis hari itu. Saya merasa sia-sia. Siang itu pun sirna, kelam langit
malam menghampiri saya, merangkul dan mengajak saya bergumul dibawah butiran
bintang.
Kawan, saya ingin berlari dengan daster saya, dengan mata sembab saya. Saya
ingin menciduk wanita-wanita dari lantai dansa, kasur durjana, cafe maksiat
penyedia obat keparat, juga perkumpulan yang berujung dengan pergumulan.
Menyelamatkan mereka dari dunia yang tak seharusnya. Tapi langkah kaki saya
tersendat disatu sudut, saya mengumpulkan titik perspektif pandangan mata saya
pada bayang laki-laki. Laki-laki yang bukan milik saya, tapi nekat saya akui
menjadi milik saya. Laki-laki yang menjadi alasan saya menempatkan egoisme saya
atas sesuatu yang terus saya sebut-sebut sebagai cinta. Saya singgah disana,
lupa pada wanita-wanita yang harus saya kembalikan. Saya bercinta dengannya
dibawah bintang, saya meneguk haus kerinduan yang menggunung hingga dering
telpon dari perempuan miliknya diseberang sana pun pasti terabaikan. Dan saya
pun menggulung keresahan tentang gundah itu dalam ciuman-ciuman hangat
bertubi. Saya tidak ingin mengingat ini sebagai dosa baru. Saya ingin menutup
ingatan bahwa saya sudah menambahkan sesosok tokoh nelangsa, wanita baru yang
kemungkinan besar akan menggabungkan pecahan hatinya dengan wanita-wanita
teraniaya diseberang sana. Wanita yang akan berteriak bagai perawan hanyut,
mungkin juga menjadi wanita yang akan menumpahkan lukanya pada pikiran-pikiran
durjana, menjadi wanita yang mengusung perih hidupnya sebab laki-lakinya
tersita bersama saya. Ma'afkan saya, wahai dunia. Ma'afkan saya,
kawan..."
Dan saya tetap terdiam meski isaknya membahana. Saya tahu perlahan tapi
pasti suara Nina akan memudar, dirampas jujur yang mulai mengakar. Nina menutup
telponnya. Tersisa saya dan ponsel tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar