Juni 17, 2012

Nina

Ponsel saya berdering. Itu Nina, hantu yang terus mengetuk pintu depan rumah saya. Suara paraunya  menyapa diseberang sana, memenuhi telinga saya. Saya terdiam, membiarkan ia membuka suara...

"Kawan, saya terbangun dipagi ini. Lagi-lagi saya meng-hamdalah-kan penambahan waktu yang diberikan Tuhan pada saya. Saya mengerjap mata sembab setelah bangun dari tidur yang tak pernah dibilang teratur. Saya tidak tahu berapa jumlah umur tersisa yang tercatat pada notes sang Pencipta. Entah mengapa hari ini saya terpikir tentang waktu tersisa, sementara rasanya baru kemarin hidup ini bermula. Saya masih memuja cara berpikir saya tentang memudahkan nilai kebahagiaan yang Tuhan beri menjadi keping hura-hura, mengecilkan nilai dosa, melegalkan semua yang saya kira menjadi pembenaran logika. Saya ingin menutup mata tentang jumlah usia yang menjadi angka  pasti dalam phase kehidupan saya. Tapi terkadang saya bergidik melihat perempuan lain mengerang pada saya. Membuat saya tak bisa menghindari fakta dosa dalam usia...

Kawan, mereka yang bergantian menangis tentang bersuami tapi terkhianati, beranak tapi mereka melunjak, berkecukupan tapi terabaikan, bahagia tapi penuh drama, miskin dusta tapi minus romansa. Mereka mengabari saya tentang suasana hatinya.  Berceloteh bahwa mereka akan  membuang sesaknya, mengail pikiran-pikiran indah, memburu haru biru dalam kisah nirwana, melambung dalam hiruk pikuk pelataran kesenangan, bahkan bertanya pada saya tentang mampu kah saya mencarikan bubuk setan untuk melepaskan lelahnya. Mereka terdengar seperti teriakan perawan hanyut disungai, tergiang ditelinga saya. Lalu mereka pun larut pada ladang kesenangan mereka. Menjadi tamak, kasar dan liar. Memonopoli dosa dan mengadopsi nista untuk obat penebus airmata. Dan hidup mereka pun hampir serupa dengan saya, menjadi manusia yang tak pernah mendapati matahari untuk dijumpa. Hidupnya serba tentang kelam, tentang bersenandung dalam dingin malam.

Kawan, lalu hari itu saya terbangun dengan isi kepala tak menentu. Itu pertama kalinya dalam beberapa tahun saya melihat terang. Matahari! Itu matahari! Saya hidup disiang hari! Itu keajaiban! Itu rekor yang harus dirayakan! Saya berlari keluar, saya berdiri didepan jendela, ada tubuh berisi saya didalam bayangan. Disana juga ada benda yang jelas tertera, keriput saya. Astaga! Setua inikah saya? Berapa usia saya? Kapan saya melewatkan usia kepala tiga saya? Kapan saya berada diusia ini? Seingat saya, saya tak pernah amnesia. Saya menangis hari itu. Saya merasa sia-sia. Siang itu pun sirna, kelam langit malam menghampiri saya, merangkul dan mengajak saya bergumul dibawah butiran bintang.

Kawan, saya ingin berlari dengan daster saya, dengan mata sembab saya. Saya ingin menciduk wanita-wanita dari lantai dansa, kasur durjana, cafe maksiat penyedia obat keparat, juga perkumpulan yang berujung dengan pergumulan. Menyelamatkan mereka dari dunia yang tak seharusnya. Tapi langkah kaki saya tersendat disatu sudut, saya mengumpulkan titik perspektif pandangan mata saya pada bayang laki-laki. Laki-laki yang bukan milik saya, tapi nekat saya akui menjadi milik saya. Laki-laki yang menjadi alasan saya menempatkan egoisme saya atas sesuatu yang terus saya sebut-sebut sebagai cinta. Saya singgah disana, lupa pada wanita-wanita yang harus saya kembalikan. Saya bercinta dengannya dibawah bintang, saya meneguk haus kerinduan yang menggunung hingga dering telpon dari perempuan miliknya diseberang sana pun pasti terabaikan. Dan saya pun menggulung keresahan tentang gundah  itu dalam ciuman-ciuman hangat bertubi. Saya tidak ingin mengingat ini sebagai dosa baru. Saya ingin menutup ingatan bahwa saya sudah menambahkan sesosok tokoh nelangsa, wanita baru yang kemungkinan besar akan  menggabungkan pecahan hatinya dengan wanita-wanita teraniaya diseberang sana. Wanita yang akan berteriak bagai perawan hanyut, mungkin juga menjadi wanita yang akan menumpahkan lukanya pada pikiran-pikiran durjana, menjadi wanita yang mengusung perih hidupnya sebab laki-lakinya tersita bersama saya. Ma'afkan saya, wahai dunia. Ma'afkan saya, kawan..." 

Dan saya tetap terdiam meski isaknya membahana. Saya tahu perlahan tapi pasti suara Nina akan memudar, dirampas jujur yang mulai mengakar. Nina menutup telponnya. Tersisa saya dan ponsel tua.


Tidak ada komentar: