Februari 01, 2008

Berang




Cahaya temaram jadi milik jangkrik yang menjerit-jerit. Berdesak sorainya membakar hati. Tak urung turunlah murka lelaki muda. Mengaduhkan bibir lebam, berkeluh soal mata biru.


"Sial! Sial", katanya.

Gelap telah menjerembabkannya dalam bau kotor got sial setelah berlari-lari menyelamatkan nyawa. Kepalanya sakit luar biasa. Kaki tangannya membengkak dimana-mana. Hati mengiba-iba untuk berbalik pulang ke gubuk sunyinya. Tersisa pendar yang menawarkan pandu. Langkah kaki menghantar pada bundanya yang tengah berbenah untuk mengadu nasib di pekan dini hari. Ia menyergah, menghentak keras pada deretan gelap yang siap menghantar langkah kaki tua sang bunda. Gelap pun tunduk saat lelaki muda berlutut. Air mata mulai terurai.

"Sedih! Pedih, bunda."

Tangan-tangan kotornya terjulur. Kosong, berdarah, bau. Bergetar menyesali gagal. Tak akan ada semangkuk sayur lezat yang akan berdesakan dengan piring-piring lauk diatas meja siang nanti, tak juga sanggup membeli segelas susu yang kabarnya sarat gizi, tak sanggup pula mentitah mantri pintar mengusung obat-obat mahal untuk pensiunkan batuk bunda.

Ia tertunduk, menciumi kulit-kulit keriput sang bunda, memohonkan satu bulat penuh kata ma’af. Melengkapi ma’afnya kemarin, kemarin dulu, minggu lalu, tahun lalu, hari lalu yang berlalu.

"Lelah! Lelah, bunda! Ingin meniduri pangkuan bunda setelah memenuhi tubuh laparku dengan bogem-bogem mentah hasil berangan untuk bahagiaku setiap hari. Tidur! Iringi aku tidur bunda. Tidur tuk melepaskan lapar kita siang ini, bunda."


*Pencuri yang angannya tercuri, Februari 2008*

Tidak ada komentar: