Februari 15, 2008

Aku juga si serigala


"Hey, serigala!”, aku berteriak sambil berlari mendekati makan malamku. Si serigala terdiam dan memandangi aku. Liurnya telah menetes, matanya melirik makanan di meja. Hidungnya bergerak-gerak membaui aroma makanan hangat. 

“Jangan pernah berpikir untuk mencobanya”, teriakku lagi. “Tak kan ada makan malam untukmu.”

Si serigala menggibaskan ekornya. Mungkin mencoba ingin terlihat lebih bersahabat. 

“Tidak!”, kataku lagi menanggapi pandangan yang mulai berseri menunggu untuk disodori hidangan. Mata besarnya berbinar. Lidahnya menjulur. Lebar. Panjang dan juga basah. Sia-sia kuhalau ia menjauh, serigala terus menempelku. Arrrgh, membuatku jengah. 

“Bosankah mengendap diluar sana? Kemanakah tumpukan daging yang biasa kau dapatkan?” 

Serigala terdiam. Dia menggelosorkan diri keatas karpet. Pilu. Mungkin itu yang ia rasakan karena aku tak kunjung mengisi perut keroncongannya. Biar. Aku sedang kesal. Kemarin makan malam buatanku teronggok begitu saja tanpa disentuhnya. Demikian juga malam-malam sebelumnya. Selalu ditinggalkan. Menjadi dingin. Beku dimakan seringai dingin dan sunyinya malam. Mata besarnya menatapku. Penuh kecewa. Aku terenyuh juga. Ah, ingin aku merengkuhnya. Membelainya. Mendekapnya. Menyibak tiap helaian bulu di tubuhnya. Tapi bayang langkahmu kemarin telah membinasakan belas kasih yang kini mulai tumbuh diotakku. Aku tertunduk berusaha menindas rasa belas kasih yang memberontak untuk di tumpahkan. Serigala mendengus dan bangkit. Perkiraanku bahwa ia akan berlalu dan berlari dari hadapku ternyata harus dipatahkan. Ia justru mendekat. Menggesekan bulu-bulunya ke kulit coklatku. Matanya berlinang. Sungguh, ia menangis. Mulutnya bersuara. Halus namun lebih mirip seperti keluhan. Mataku ikut basah dengan airmata. Belas kasih telah berhasil merangkak masuk dalam relung hati. Menguasai hati dan menancapkan bendera kemenangan untuk sesaat. 

Pandanganku dikaburkan airmata yang ikut membuncah. Samar-samar kulihat bayangnya tak lagi sama. Tak lagi kulihat ekor dan bulu serigalanya. Bahkan ia tak lagi merangkak seperti serigala. Dia mengerang seperti manusia. Ya, manusia. Mahluk yang katanya mulia. Aku terisak. Aku lupa. Aku lupa bahwa ia pernah terlahir sebagai manusia. Bertingkah seperti manusia. Memperlakukan aku bagai manusia. Menikah dengan cara manusia. Menyetubuhi aku dengan cara manusia. Dia manusia. Tapi mengapa sering terlihat seperti serigala? Ataukah dia manusia setengah serigala? Atau serigala setengah manusia? Manusia jadi-jadiankah? Serigala jadi-jadiankah? Kamu siapa, serigala? Siapa? Siapa? Aku bingung. Aku berlari mendekati cermin. Tubuh berisiku mengisi bayang cermin. Ada kulit coklatku, rambut hitamku juga jerawat besar sialanku terpampang disana. Aku berdiri tegak. Dengan dua kaki. Itu berarti aku manusia. Aku bisa bersenandung, berbicara dan menatap bayangku seperti manusia. Aku berputar memeriksa seluruh tubuhku. Ya, Tuhan! Aku terhuyung. Terbelalak pada bagian belakang tubuhku. Aku punya ekor. Seperti serigala. Atau memang aku juga seekor serigala? Aku kesal. Marah. Tak percaya bahwa aku juga mirip serigala. 

Aku mencoba mengingat kapan terakhir aku memeriksa tubuhku sebelum ekor itu bergelayut disana. Mungkin setahun. Atau dua tahun yang lalu? Atau kapan? Kapan terakhir kupandangi diriku di cermin besar itu? Itu sudah lama. Lama sekali. Hampir tak bisa kuingat. Aku tidak lagi pernah sempat berdiri disitu. Aku selalu berlari keluar rumah bila angin menderu dengan derasnya diluar sana. Menghambur ke pintu dan menyatu dengan angin tanpa sempat kulewati kaca walau hanya untuk memeriksa pipi dengan jerawat sialanku. Aku biarkan diri terhempas angin, kemudian pulang dengan kesegaran baru setelah dibuai dalam sapuannya. Ya, tiba-tiba saja aku ingat. Ketika itu belum ada serigala dirumahku. Dulu ada manusia tinggal bersamaku. Benar-benar manusia. Berdiri tegak dengan dua kaki. Mengenakan kemeja setiap kali keluar dari rumah. Kemeja yang aku setrika sendiri dengan tanganku. Dia nafkahi aku dengan uangnya. Uang bergambar manusia. Uang yang akhirnya bisa untuk membeli makanan manusia. Makanan kami. Tapi kemudian ia selalu terdiam didepan mejanya tiap kali selesai makan. Masakanku tak lagi terlihat mengenyangkan baginya. Terlalu asin. Terlalu manis. Terlalu hambar. Terlalu asam. Selalu protes dengan rasa yang berbaur diantara bumbu. Terakhir dia bilang bahwa aroma makanan dari ujung jalan lebih menggoda. Membuatnya selalu terduduk disisi jendela depan rumah. Menikmati semua suguhan makananku sambil membaui masakan dari ujung jalan. Tak apalah bagiku! Asalkan ia tetap menyantap makan malam buatanku. 

Sejak itu meja makan hampir tak pernah berpenghuni. Ia selalu mengendap membaui aroma masakan dari ujung jalan. Merayap mendekati dan menempelkan hidungnya di dinding dapur tampat masakan itu dibuat. Sesekali dia harus pulang dengan keadaaan basah kuyup. Disiram oleh si empunya dapur. Dengan keadaan itu, dia pasti akan makan di mejaku. Menyantap makan malamnya meskipun terlihat seperti asal telan. Bahkan pura-pura sibuk makan, menghindari pertanyaan-pertanyaanku yang kadang tak bisa ia jawab. Aku sering murka. Sering mencacinya sejak itu. Aku bosan. Lelah dengan kemurkaanku. Aku lebih suka berayun dengan angin diluar sana daripada bertengkar dengan cara makannya. Aku berayun dan terus berayun. Sampai kudapati bahwa aku terhempas terlalu jauh dari rumah. Terlalu sibuk dengan angin dan akhirnya lelah. Kemudian aku lapar. Haus, aku butuh makan dan juga minum tentunya. Angin menghantarkanku kesebuah dapur. Semuanya menggoda. Menggiurkan. Membuat liurku menetes. Aku menyantap semuanya. Aku lupa menanyakan apakah makanan itu telah matang. Apakah aku berhak mencicipinya. Mengunyahnya. Menjilatnya. Memasukkan ke kerongkonganku. Aku terlalu lapar. Aku makan semua sampai kenyang dan tertidur. Aku terus kembali kesana. Menghabiskan apa yang ada didapur itu. Berhari-hari. Berbulan-bulan. Entah berapa lama. Aku lupa keberadaan manusia yang biasa makan di meja makanku. Tiba-tiba aku merindukan meja makanku sendiri. Rindu manusia yang selalu bersitegang soal bumbu. Aku ingin pulang. Dan aku pulang. Pulang untuk melihat dia. Berdamai dengannya. Lama aku menunggunya sampai kudapati dia datang dengan cara yang berbeda. Merangkak melalui pintu kecil, menjulurkan lidahnya dan menyalak padaku dengan keras. Manusia yang kutunggu telah menjadi serigala. Kemudian sejak itu aku cuma melihat serigala. Tingkah serigala, obrolan serigala, bahkan rumahku sudah seperti rumah serigala. Berantakan dengan segala hal berbau serigala. Aku mulai malas memasak makan malam. Toh, yang akan ia santap telah menunggu dibalik dapur yang mengepul di ujung jalan. Serigala bisa bebas masuk kesana sejak berdamai dengan si empunya dapur. Dia menyantap semua yang ada disana. Dia lupa menanyakan apakah makanan itu telah matang. Apakah dia berhak untuk mencicipinya. Mengunyahnya. Menjilatnya. Memasukan ke kerongkongannya. Dia terlalu lapar. Dia makan seperti ketika aku bersama angin. Aku terus berdiam. Marah dengan kebingungan yang ada. Kenapa ia jadi serigala? Ataukah dia manusia setengah serigala? Atau serigala setengah manusia? Serigala jadi-jadiankah? Manusia jadi-jadiankah? Kamu siapa, serigala? Siapa? Siapa? Tak bisakah dia kembali jadi manusia lagi? Aku bingung. Aku menatap serigala. Bergantian anatara bayang serigala di cermin dan serigala dihadapanku. Kita berdua seperti serigala. Bertingkah seperti manusia dan serigala. Dari manusia ke serigala, dari serigala ke serigala, dari serigala ke manusia, dari manusia ke manusia kembali, dari manusia serigala ke manusia, dari… Ah! Aku lelah, serigala! Aku ingin kembali. Akhirnya kusodorkan juga makan malam pada serigala. Kubelai bulu halusnya. Kudekap dirinya dan berbisik lirih pada serigala, “Mari jadi manusia pada malam ini. Kita akan tidur ditempat tidur manusia, bercinta seperti manusia lalu bangun dan menjalankan hidup seperti manusia besok. I love you, serigala!”

Tidak ada komentar: